Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengeluhkan beban trafik yang makin tinggi dari layanan over the top (OTT) seperti Whatsapp, Instagram dan lain sebagainya.
Pengusaha telekomunikasi mengusulkan agar dibentuk regulasi yang mengatur kerja sama antara OTT dengan perusahaan telekomunikasi agar beban yang dipikul terbagi rata.
Wakil Ketua Umum Atsi Merza Fachys mengatakan saat ini baik operator telekomunikasi nasional maupun industri penyiaran menghadapi tekanan besar akibat meningkatnya trafik dari layanan Over-The-Top (OTT).
Khusus untuk operator telekomunikasi, lanjut Merza, panggilan suara dan video berbasis internet sangat membebani jaringan yang dibangun operator telekomunikasi nasional. Kondisi ini semakin diperparah dengan layanan OTT yang menggerus layanan operator telekomunikasi. Contohnya, layanan OTT voice dan video call yang mereka sediakan sudah menggerus layanan legacy (voice) milik operator telekomunikasi.
Layanan OTT, kata Merza, mendominasi trafik pada layanan data. Tingginya trafik memaksa operator telekomunikasi untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitas agar layanan OTT dapat berjalan prima. Padahal, kehadiran layanan OTT dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh operator telekomunikasi tidak sebanding dengan investasinya.
Selama ini, penyedia layanan OTT tidak memberikan kontribusi positif baik bagi negara maupun operator telekomunikasi yang sudah membangun jaringan infrastruktur yang menopang bisnis mereka.
"Komdigi dan seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk mencarikan solusi. Misalnya dibuat regulasi mengenai kewajiban kerja sama,” kata Merza, dikutip Senin (28/7/2025).
Dia mengatakan pengaturan dibutuhkan agar terwujud sinergi yang positif antara ekosistem digital dan operator telekomunikasi. Kewajiban kerja sama ini juga bertujuan untuk menjaga keberlangsungan bisnis dan layanan telekomunikasi di Indonesia.
“Jika tak segera diregulasi, maka kondisi operator telekomunikasi akan semakin memprihatinkan sehingga membawa dampak langsung pada kualitas layanan bagi masyarakat dan pendapatan negara," kata Merza.
Merza menuturkan hakikatnya pemerintah sudah memiliki dasar hukum yang sangat kuat untuk mengatur OTT, sebagaimana diatur dalam PP 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), serta turunannya PM Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Pasal 15 ayat (6) PP 46/2021 memberikan kewenangan kepada penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk melakukan pengelolaan trafik, sepanjang untuk memenuhi kualitas layanan atau kepentingan nasional.
Dia menekankan kembali perusahaan telekomunikasi tidak meminta layanan WhatsApp Call dibatasi, melainkan penataan ekosistem digital dan telekomunikasi agar lebih adil, seimbang, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
"Jadi, sebenarnya pengelolaan trafik ini bukan hal yang baru karena sudah ada dalam regulasi PP Postelsiar dan turunannya. Namun, hingga saat ini penegakan aturan terhadap regulasi tersebut belum dilakukan,” kata Merza.
Kerja Sama Eksisting
Dia menjelaskan saat ini penyelenggara telekomunikasi telah memiliki kerja sama dengan OTT, namun kerja sama yang ada bukan merupakan bentuk fair share.
Dalam implementasinya, perlu dilakukan asesmen bentuk kerja sama yang dapat dijadikan sebagai fair share oleh penyedia OTT atas nilai ekonomi yang telah diperoleh dalam memanfaatkan infrastruktur digital yang telah dibangun dan disediakan penyelenggara telekomunikasi.
ATSI mendorong agar Kementerian Komunikasi dan Digital segera membuka forum pembahasan bersama antara regulator dan pelaku industri untuk menyusun strategi penataan OTT yang komprehensif, agar tak terjadi eksploitasi sepihak terhadap infrastruktur telekomunikasi nasional.
Dia menambahkan layanan OTT yang saat ini ada bukanlah penyelenggara yang berada di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. OTT tidak bisa terus berada tanpa regulasi, sementara operator diikat oleh berbagai kewajiban.
“Ini bukan semata soal bisnis, tapi keberlanjutan untuk menyediakan layanan telekomunikasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga saat ini waktu yang tetap untuk mengatur OTT di Indonesia,” kata Merza.
Selain menyoroti aspek kesetaraan industri, ATSI mengingatkan, penataan OTT berkaitan erat dengan perlindungan konsumen.
Maraknya penipuan digital melalui aplikasi OTT seperti WhatsApp dalam beberapa waktu terakhir, mulai dari modus pengambilalihan akun, tautan undangan palsu, hingga penipuan berkedok lowongan kerja, menjadi bukti nyata ekosistem OTT saat ini belum memiliki mekanisme akuntabilitas yang memadai di tingkat nasional.
“Dalam kasus-kasus tersebut, masyarakat Indonesia menjadi korban, namun tidak ada kejelasan jalur pelaporan atau pemulihan yang efektif karena penyedia OTT tidak memiliki kehadiran hukum langsung di Indonesia," kata Merza.