Bisnis.com, JAKARTA – WeWork (WE.N), startup yang menyediakan ruang kerja bersama asal AS, dikabarkan mengajukan kebangkrutan pada awal minggu kedua November 2023. Padahal startup ini dahulu sempat memiliki valuasi sebesar Rp720 Triliun.
Dikutip dari reuters, Rabu (1/11/2023), saham penyedia ruang kerja fleksibel turun 32% dalam perdagangan yang diperpanjang setelah Wall Street Journal pertama kali melaporkan berita tersebut. Angka tersebut telah turun sekitar 96% tahun ini.
WeWork sedang mempertimbangkan untuk mengajukan kebangkrutan di New Jersey, menurut Wall Street Journal, yang pertama kali melaporkan cerita tersebut. Namun, startup ini menolak berkomentar mengenai hal tersebut.
Sebelumnya, Wework menyatakan pihaknya telah menandatangani perjanjian dengan kreditor untuk penundaan sementara pembayaran sebagian utangnya, dengan masa tenggang hampir berakhir.
Perusahaan ini memiliki utang bersih jangka panjang sebesar $2,9 miliar pada akhir Juni dan sewa jangka panjang lebih dari $13 miliar, pada saat meningkatnya biaya pinjaman merugikan sektor real estat komersial.
Pengajuan kebangkrutan WeWork akan menandai pembalikan kekayaan yang menakjubkan bagi perusahaan yang bernilai $47 miliar pada tahun 2019 dan titik hitam bagi investor SoftBank yang tenggelam miliaran dolar.
WeWork mengalami kekacauan sejak rencananya untuk go public pada tahun 2019 gagal menyusul skeptisisme investor terhadap model bisnisnya yang mengambil sewa jangka panjang dan menyewakannya untuk jangka pendek serta kekhawatiran akan kerugian yang besar.
Namun, kesengsaraan WeWork tidak mereda pada tahun-tahun berikutnya. Dan, akhirnya berhasil go public pada tahun 2021 dengan valuasi yang jauh lebih rendah.
Bahkan, pendukung utamanya, konglomerat Jepang SoftBank telah menghabiskan puluhan miliar dolar untuk menopang startup tersebut, namun nyatanya perusahaan ini terus mengalami kerugian.
Pada bulan Agustus 2023, WeWork menimbulkan kerugian besar terkait kemampuannya untuk melanjutkan operasinya, Perusahaan ini menyatakan bahwa mereka sedang menghadapi tantangan termasuk permintaan yang lebih lemah dan lingkungan operasi yang sangat sulit.
Ada banyak eksekutif puncak juga telah mengundurkan diri tahun ini, termasuk ketua eksekutif dan CEO Sandeep Mathrani. (Afaani Fajrianti)