Bisnis.com, JAKARTA – Perubahan gaya belanja masyarakat disinyalir menjadi salah satu penyebab sepinya pusat belanja dan pasar konvensional seperti Tanah Abang. Data menujukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat lebih tertarik berbelanja lewat smartphone dibandingkan mengunjungi langsung pasar. Terjadi di seluruh segmen.
Ketua Umum Indonesia Digital Empowerment Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan fenomena sepinya pasar tradisional dan pusat grosir dikarenakan gaya hidup dan belanja masyarakat yang sudah berubah.
Masyarakat cenderung malas untuk keluar dari rumah untuk membeli suatu barang sehingga mereka lebih memilih untuk membeli barang secara online.
Selain itu, Tesar mengatakan, faktor lainnya adalah daya beli masyarakat juga tidak sebesar sebelum pandemi Covid-19.
“Orang sudah lebih berhemat sehingga mereka tidak membeli barang-barang yang sekunder,” ujar Tesar beberapa waktu lalu.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan sejumlah data yang dipublikasikan berbagai lembaga riset dan keuangan.
Pada pertengahan 2023, Kredivo, salah satu perusahaan penyedia layanan pinjaman atau cicilan online, melaporkan konsumen lebih tua makin adaptif dengan penggunaan e-commerce terkait kenaikan konsisten selama 3 tahun terakhir.
Semenjak saat itu, penggunaan belanja e-commerce telah menjadi salah satu gaya hidup baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya pandemi 3 tahun terakhir yang telah membatasi mobilitas masyarakat sehingga mau tidak mau lebih sering menggunakan e-commerce untuk berbelanja via online.
Pada 2020, sebanyak 19% kelompok konsumen dengan umur 36-45 berbelanja lewat e-commerce. Jumlah tersebut meningkat 2% pada 2022 menjadi 21%.
Peningkatan juga terjadi pada kelompok umur 46-55 tahun dari 4% (2020) menjadi 6% (2022).
Berdasarkan hasil survey dari Ipsos, belanja online lebih mudah bagi masyarakat karena hanya menggunakan gawai, perangkat lainnya melalui internet dibandingkan offline yang mengharuskan datang langsung ke toko pasar konvensional.
Di Indonesia tercatat ada sekitar 73% responden yang setuju melalui online lebih mudah untuk belanja secara online. Sementara itu, hanya 24% responden yang tidak setuju belanja secara online atau bisa dibilang secara offline.
Senada, Dataindonesia, Minggu (15/10/2023), melaporkan ada sekitar 75% masyarakat memilih untuk belanja secara online di Indonesia per semester I/2023 meningkat dibandingkan pada periode tahun yang sama sebelum sebesar 70%.
Sedangkan, proporsi orang Indonesia yang memilih belanja secara konvensional menurun hanya 25 % dibandingkan pada semester I/2020 mencapai 30%.
Adapun alasan masyarakat memilih belanja online karena adanya gratis ongkos kirim (50,5%) yang ditawarkan oleh sejumlah platform e-commerce.
Artinya, dengan berbelanja di Shopee, Lazada hingga Tokopedia, masyarakat dapat menghemat energi, waktu dan biaya pengiriman untuk mendapatkan barang. Murah dan praktis.
Selain gratis ongkir, masyarakat lebih suka bayar di tempat atau cash on delivery (COD) sebanyak 24,7% ketika belanja online. Sekitar 48,3% masyarakat yang tertarik berbelanja daring karena ulasan pelanggan serta diskon dan kupon. Dan, ada 41,7% responden berbelanja daring karena metode pembayaran yang sederhana.
Dari sisi gender, laporan juga tersebut juga menunjukkan perempuan lebih banyak menggunakan platform e-commerce untuk belanja online dibanding laki-laki.
Berdasarkan hasil riset dari iPrice, konsumen yang berbelanja daring sempat didominasi laki-laki dengan persentase 54% pada 2019. Sementara, hanya 47% konsumen yang berbelanja daring merupakan perempuan.
Pada 2020, proporsi konsumen laki-laki yang berbelanja daring turun jadi 51%. Sebaliknya, konsumen perempuan yang berbelanja daring naik jadi 49%.
Konsumen yang berbelanja daring lebih didominasi perempuan dengan persentase mencapai 54% pada 2021. Sedangkan, hanya 46% konsumen yang berbelanja daring merupakan laki-laki.
Tak hanya itu, laporan iPrice juga menunjukkan perempuan paling banyak berbelanja daring ketika momen obral di bulan Ramadan atau Ramadan sale tercatat sebesar 52%.
Selanjutnya, belanja online tanpa kombinasi secara offline mengalami penurunan dari yang sebelumnya 28% menjadi 18,7%. Tren pergeseran juga terlihat dari transaksi per kategori produk, dengan turunnya nilai transaksi gadget di 2022 sebelumnya 37% menjadi 33,7% YoY.
Sementara itu terjadi kenaikan nilai transaksi di produk fesyen dari 12,9% menjadi 15,6 % YoY. Tren ini sejalan dengan mulai kembalinya aktivitas offline masyarakat di masa transisi pandemi 2022.
Tren preferensi belanja yang beragam berdasarkan kelompok umur, status perkawinan, dan jumlah anak. Pulsa dan voucher menjadi kebutuhan paling diminati oleh konsumen berdasarkan kelompok umur.
Sedangkan, konsumen lajang paling banyak bertransaksi untuk gadget, dan konsumen dengan 1-2 anak paling banyak membeli produk kategori anak dan bayi sedangkan konsumen dengan 3-5 anak cenderung lebih fokus pada peralatan rumah tangga dan makanan.
Meskipun secara keseluruhan transaksi 2022 meningkat dibanding 2021, terdapat penurunan di kuartal IV 2022 akibat isu resesi dan gejolak ekonomi global, dengan nilai transaksi kuartal IV/2022 sebesar 38,6% menjadi 33,3% YoY. (Afaani Fajrianti)