Rasionalisasi BHP Frekuensi Urgen untuk Keberlanjutan Bisnis Emiten Telko

Leo Dwi Jatmiko
Jumat, 1 September 2023 | 10:09 WIB
Ilustrasi menara telekomunikasi./Bloomberg
Ilustrasi menara telekomunikasi./Bloomberg
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai rasionalisasi biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi perlu dilakukan untuk keberlajutan bisnis operator seluler. Riset menunjukkan bahwa rasio yang tinggi berdampak pada keberlanjutan bisnis perusahaan telekomunikasi

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan beban regulasi melalui PNBP harus dirasionalkan sehingga industri dapat tumbuh secara sustainable/berkelanjutan, dan dapat dipulihkan kondisi kesehatannya. 

Kajian Coleago menemukenali bahwa penyelenggara jasa akan berkelanjutan (sustainable) jika rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan tersebut maksimal 5 persen. 

“Jika rasio tersebut lebih dari 10 persen maka penyelenggaran akan berada pada kondisi yang tidak sehat/sustain. Sebagian besar penyelenggara telekomunikasi di Indonesia memiliki rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan yang cukup tinggi, lebih dari 10 persen. Bahkan ada yang rasio BHP Frekuensi terhadap pendapatannya sudah sekitar 16 persen,” kata Sigit, Jumat (1/9/2023). 

Diketahui, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tercatat sebesar Rp19,84 triliun. Biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi menjadi kontributor terbesar dengan menyumbang Rp19,65 triliun.  

Dilansir dari postel.go.id, PNBP yang disalurkan Kemenkominfo hakikatnya cenderung melandai. Pada 2020, PNBP Kemenkominfo mencapai Rp20,90 triliun, kemudian turun menjadi Rp20,43 triliun pada 2021, hingga akhirnya menjadi Rp19.84 triliun tahun lalu. Belum diketahui apa penyebab penurunan tersebut.  

Dari jumlah tersebut, 99 persen berasal dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) melalui BHP frekuensi.

Total BHP frekuensi radio pada 2022 mencapai Rp19,65 triliun, yang menandakan pengelolaan spektrum frekuensi cukup optimal dan memberi kontribusi bagi negara. 

Sigit mengatakan regulatory charges baik berupa PNBP, pajak maupun beban-beban lain yang terkait regulasi akan memperberat kinerja penyelenggara telekomunikasi dalam berinvestasi menyediakan jaringan dan kualitas layanan yang memadai bagi terlaksananya transformasi digital. 

Pemerintah hendaknya tidak membiarkan penyelenggara telekomunikasi menjadi tidak berdaya karena berkurangnya pelaku usaha di sektor telekomunikasi akan mengancam persaingan usaha yang sehat yang pada ujungnya mengancam kemampuan masyarakan memanfaatkan layanan. 

Selain itu, lanjutnya, lemahnya penyelenggara telekomunikasi akan berpotensi mengancam ketahanan nasional. 

“Mengingat terdapat simbiosis mutualisme antara penyelenggara telekomunikasi dan pemerintah maka sudah selayaknya dilakukan peninjauan ulang atas regulatory charges yang membebani penyelenggaraan telekomunikasi guna mendukung kepentingan nasional yang telah ditetapkan,” kata Sigit. 

Senada, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan harus ada perhitungan ulang dan koreksi terhadap biaya spektrum frekuensi atau BHP Frekuensi, mengingat kondisi industri telekomunikasi yang sudah berbeda. 

Heru mengatakan perhitungan ulang memang akan berdampak kepada pendapatan negara langsung yang berkurang, tetapi ini akan menggerakan ekonomi masyarakat dengan tarif terjangkau, operator terus hidup dan membangun jaringan, lapangan kerja tetap terjaga, manfaat ekonomi secara makro bisa lebih besar

“Jangan semua dimonetisasi dengan harga tinggi, sementara industri sudah berbeda dibanding masa keemasan 10-15 tahun lalu,” kata Heru.

Spektrum frekuensi atau dikenal dengan spektrum frekuensi radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 GHz.

Frekuensi radio ini memiliki peran penting sebagai sarana tempat ‘jalur’ pesan mengalir. Seluruh pesan yang melintas di udara telah memiliki jalurnya masing-masing dan diatur oleh pemerintah. 

Pemerintah telah menetapkan rentang pita frekuensi di 300-3.000 MHz. Adapun, secara perinci, pita frekuensi yang digunakan oleh operator seluler seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Smartfren antara lain berada di pita 800 MHz, 900 MHz, 1.800 MHz, 2.100 MHz, dan 2.300 MHz. 

Dalam waktu dekat rencananya Kemenkominfo akan menggelar lelang di pita 700 MHz, yang menandakan bahwa frekuensi yang dioperasikan operator seluler akan bertambah lagi. Lelang dilakukan setelah siaran analog dipastikan tidak lagi menggunakan spektrum frekuensi tersebut. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper