Bisnis.com, JAKARTA — Kapasitas satelit Geostationary Earth Orbit (GEO) yang terbatas menjadi salah satu tantangan yang harus dilewati pemerintah jika ingin meningkatkan daya saing digital Indonesia.
Satelit menjadi opsi paling mudah dan cepat untuk memberi akses internet ke seluruh wilayah Indonesia dan meningkatkan kemampuan digital masyarakat di rural.
Data terbaru East Ventures melaporkan daya saing digital Indonesia meningkat lebih tinggi pada 2025 dibandingkan dengan 2025.
Laporan 2020 hingga 2025 menunjukkan peningkatan daya saing digital antarprovinsi yang konsisten, sebagaimana tercermin dari skor EV-DCI 2025 sebesar 38,8 atau naik 70 basis points (Bps). Lebih tinggi dibandingkan dengan 2024 yang naik 40 bps menjadi sebesar 38,1.
Salah satu faktor yang membuat daya saing digital meningkat karena kehadiran internet 4G di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Dalam menyalurkan internet ke 3T, pemerintah mengandalkan beragam teknologi salah satunya satelit GEO bernama Satelit Satria-1 yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer di atas permukaan bumi.
Satelit multifungsi tersebut mengangkut kapasitas 150 Gbps dan menyuntikan internet ke lebih dari 30.000 titik di daerah rural. Karena kapasitas terbatas, maka makin banyak pengguna, kualitas layanan makin melambat.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward menekankan pentingnya peningkatan bandwidth dan pemerataan infrastruktur digital sebagai kunci percepatan daya saing digital. .
Menurut perhitungannya, jika kapasitas bandwidth internet melalui Satria di Papua dapat digandakan, maka trafik internet akan meningkat minimal empat kali lipat. Efek domino dari peningkatan ini akan sangat besar, tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada kemajuan manusia di bidang kemakmuran, kesehatan, dan pendidikan.
Namun, jika kapasitas bandwidth tidak ditambah maka peningkatan daya saing masyarakat Indonesia di tengah era yang serba digital hanyalah angan-angan.
“Untuk Papua, bandwidth harus ditambah, misalnya bandwidth satelit yang awalnya 2Mbps menjadi minimal 4 Mbps atau 8 Mbps, dan area yang dibuka harus lebih merata. Teresterialisasi hingga bandwidth menjadi minimal 10 kali lebih besar dan delay lebih rendah,” kata Ian kepada Bisnis, Jumat (30/5/2025).
Ian mengatakan bahwa tantangan geografis dan keterbatasan bandwidth masih menjadi hambatan utama dalam meningkatkan daya saing. Pemerintah dan operator telekomunikasi seperti Telkomsel terus berupaya memperluas jaringan 4G dan menambah kapasitas bandwidth.
Ian juga menekankan bahwa peningkatan bandwidth dan pemerataan infrastruktur tidak harus selalu mengandalkan dana APBN. Kolaborasi dengan operator telekomunikasi, khususnya BUMN, sangat memungkinkan dan bahkan sudah menjadi semangat bersama untuk membangun daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
“Relokasi anggaran juga bisa dilakukan dengan prinsip efisiensi, memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan dampak sosial dan ekonomi yang terukur,” kata Ian.
Praktik kolaborasi ini sudah berjalan, di mana Telkomsel dan pemerintah daerah Papua Pegunungan, misalnya, bekerja sama untuk meningkatkan kualitas layanan internet 4G/LTE melalui sinergi dengan BAKTI Kominfo dan pemanfaatan Palapa Ring Timur.
Pemerintah juga terus mempercepat pembangunan infrastruktur digital, seperti membangun lebih dari 1.700 titik konektivitas dan meresmikan AI Experience Center di Jayapura untuk mendukung literasi digital dan pengembangan SDM lokal.