Bisnis.com, JAKARTA –TikTok dilaporkan akan meluncurkan platform untuk membantu pedagang China memasarkan produknya secara global. Platform ini akan menyasar pasar Amerika Serikat terlebih dulu.
Perluasan usaha e-commerce TikTok ini dikatakan mampu meningkatkan pendapatan di luar iklan. Melansir dari The Messenger, Kamis (27/7/2023), opsi belanja online TikTok telah menghasilkan laba kotor senilai US$5 miliar atau sekitar Rp74,9 triliun tahun lalu.
Kini, aplikasi milik perusahaan China, ByteDance itu menargetkan peningkatan laba hingga US$20 miliar atau sekitar Rp299,9 triliun melalui platform yang diberi nama Full-service atau layanan penuh.
Adapun, TikTok telah merambah bisnis e-commerce di seluruh negara melalui fitur TikTok Shop yang memungkinkan pengguna berjualan dan berbelanja melalui aplikasi media sosial tersebut.
Berbeda dengan TikTok Shop, TikTok Full-service merupakan platform ritel lengkap, seperti Amazon.com. Perusahaan akan menjual inventarisnya sendiri, sebagian besar dari pabrikan China, dan menjual berbagai macam produk mulai dari gadget, perlengkapan dapur, hingga mainan.
Platform ini juga akan menangani logistik dan pemenuhan lainnya sendiri langsung ke konsumen. TikTok Full-service akan memulai debutnya di pasar AS pada bulan Agustus nanti.
Konsep ini sebelumnya telah diterapkan di Inggris. Melalui fitur yang disebut Trendy Beat, pengguna Inggris dapat melihat-lihat katalog dan pastinya juga membeli barang-barang yang akan dikirim langsung dari China. Masyarakat menyebutnya dengan nama Project S.
Sebagai platform media sosial, TikTok menjadi lebih unggul ketimbang platform e-commerce lain, bahkan juga platform ritel seperti Amazon. Hal ini karena perusahaan memiliki data pola aktivitas masyarakat sehari-hari yang bisa digunakan untuk memetakan algoritma iklan bahkan produksi produk.
Perusahaan dapat mengetahui produk-produk yang sedang atau akan populer di wilayah tertentu dan memproduksinya di China untuk kemudian dijajaki di platform TikTok sendiri, yang mana nantinya akan menambah keuntungan yang masuk ke kantong perusahaan.
Untuk negara-negara seperti Inggris dan AS, konsep demikian mungkin tidak berimplikasi signifikan terhadap negara. Namun, Indonesia sebagai negara yang menggantungkan pertumbuhan ekonominya di sektor UMKM mungkin akan sangat terdampak.
Indonesia menjadi negara kedua yang memiliki jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, setelah AS di urutan kesatu, menurut laporan We Are Social. Demikian, TikTok telah banyak menghimpun data pengguna Indonesia dan dapat memanfaatkannya untuk konsep platform terbarunya. Namun, belum ada tanda-tanda TikTok akan meluncurkan platform ini di Indonesia.