Bisnis.com, JAKARTA — Belasan ribu ilmuwan telah memperingatkan bencana alam dahsyat yang disebabkan perubahan iklim akan terjadi pada akhir abad ke-21. Tanda bahaya kiamat iklim di planet ini disebut telah muncul dan memicu bencana global.
Peringatan dari 15.000 ilmuwan dari 161 negara tentang kiamat iklim tersebut tertuang dalam jurnal BioScience yang telah dirilis sejak Oktober 2023 lalu dengan judul The 2023 state of the climate report: Entering uncharted territory.
Studi tersebut menunjukkan keresahan para ilmuwan akan perubahan iklim yang cepat dan makin mengepung bumi. Kondisi ini juga dinilai akan mendorong kehancuran ekologi bagi umat manusia.
“Selama beberapa dekade, para ilmuwan secara konsisten memperingatkan masa depan yang ditandai oleh kondisi iklim ekstrem karena meningkatnya suhu global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang sedang berlangsung yang melepaskan gas rumah kaca berbahaya ke atmosfer. Sayangnya, waktu sudah habis,” tulis ilmuwan dalam makalah tersebut, dikutip dari Futurism, Minggu (8/6/2025).
Penulis utama dari penelitian pascadoktoral di Oregon State University (OSU) Christopher Wolf menegaskan keseriusan temuan dalam penelitian yang dilakukan , namun juga menyampaikan secercah harapan yang disertai dengan solusi mitigasi utama.
“Tanpa tindakan yang mengatasi akar masalah kemanusiaan mengambil lebih banyak dari Bumi daripada yang dapat diberikan dengan aman, kita sedang dalam perjalanan menuju potensi runtuhnya sistem alam dan sosial ekonomi dan dunia dengan panas yang tak tertahankan dan kekurangan makanan dan air tawar,” ujarnya.
Dalam studi itu, Wolf bersama 11 penulis lainnya mengungkapkan sejumlah data mencengangkan, menunjukkan bahwa pada tahun 2023, berbagai rekor iklim terpecahkan dengan margin yang sangat besar.
Mereka menyoroti musim kebakaran hutan yang luar biasa di Kanada sebagai contoh dan menyebutnya sebagai titik kritis ke dalam rezim kebakaran baru, yang dinilai sebagai ungkapan yang relatif optimis dalam tulisan ilmiah.
Di sisi lain, William Ripple, profesor kehutanan dari OSU yang juga terlibat dalam studi tersebut, menambahkan bahwa tahun ini memperlihatkan kekhawatiran lebih besar dan sangat disayangkan manusia belum menunjukkan banyak kemajuan untuk mengatasi permasalahan ini.
“Kami juga menemukan sedikit kemajuan untuk melaporkan sejauh umat manusia memerangi perubahan iklim,” kata Ripple dalam pernyataannya.
Seperti banyak ilmuwan lainnya sebelumnya, kedua belas penulis studi dan ribuan penandatangan makalah ini tidak hanya menyalahkan industri bahan bakar fosil yang menghasilkan polusi tinggi, tetapi juga menyoroti peran pemerintah yang memberikan subsidi kepada industri tersebut sebagai faktor utama dari krisis iklim yang terus memburuk.
Berdasarkan data dalam makalah tersebut, antara tahun 2021 dan 2022, subsidi untuk bahan bakar fosil hampir dua kali lipat, dari US$531 miliar menjadi lebih dari US$1 triliun, hanya di Amerika Serikat saja.
“Kita harus mengubah perspektif kita tentang keadaan darurat iklim dari sekadar masalah lingkungan yang terisolasi menjadi ancaman sistemik dan eksistensial,” tulis para penulis makalah
Menurut ribuan ilmuwan tersebut, beralih arau mengurangi penggunaan bahan bakar fosil menjadi langkah utama yang harus segera diambil untuk menghindari bencana lebih besar sebelum abad ke-21 berakhir.