APJII Sebut Amerika Serikat Lebih Mumpuni Lindungi Data Pengguna Ketimbang RI

Leo Dwi Jatmiko
Minggu, 27 Juli 2025 | 14:15 WIB
Ilustrasi pelindungan data pribadi/dok.Kaspersky
Ilustrasi pelindungan data pribadi/dok.Kaspersky
Bagikan
Ringkasan Berita
  • APJII menilai Amerika Serikat lebih unggul dalam perlindungan data pengguna dibandingkan Indonesia, meskipun data warga RI banyak disimpan di AS.
  • Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan siber masih rendah, sementara AS lebih sadar akan pentingnya menjaga data dari serangan siber.
  • Meskipun AS memiliki regulasi perlindungan data berdasarkan negara bagian, kebocoran data tetap terjadi, menunjukkan bahwa AS juga rentan terhadap serangan siber.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut Amerika Serikat lebih baik dalam hal pelindungan data pribadi pengguna Internet dibandingkan dengan Indonesia.

Langkah pemerintah menyerahkan data warga RI ke AS sebagai bagian dari kesepakatan dagang untuk menurunkan beban tarif merupakan hal yang benar. 

Sekjen APJII Zulfadly Syam mengatakan pada hakekatnya dari waktu ke waktu data masyarakat Indonesia sudah berada di AS sejak lama. Data personal, kebiasaan, agenda meeting dan lain-lain sudah ditempatkan di AS seiring dengan tingginya penggunaan aplikasi-aplikasi asal AS oleh warga Indonesia. 

Adapun mengenai perlindungan data dengan maraknya data Indonesia di sana, menurutnya, AS sejauh ini lebih baik dari Indonesia. 

“Menempatkan data di AS jauh lebih baik dari sisi perlindungan. Namun perlindungan yang ada menganut hukum-hukum di AS bukan hukum Indonesia,” kata Zulfadly kepada Bisnis, Minggu (27/7/2025). 

Zulfadly mengatakan saat ini tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan siber masih rendah. Istilah ‘data adalah sumber minyak baru’ hanyalah jargon yang kerap disemburkan pemerintah.

Faktanya kesadaran terhadap menjaga data dari serangan siber masih lemah. Sedangkan AS jauh lebih sadar terhadap urgensi menguasai dan menjaga data. 

Sementara itu data di Indonesia sudah bocor. Indonesia termasuk salah satu negara dengan kebocoran data signifikan di dark web, dengan jutaan catatan pribadi terekspos.

Data Global Surfshark 2004−2024 menyebut kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, lebih besar jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asean. 

“Itulah mengapa kami sebut data di AS lebih "terlihat" secure. Walaupun data-data tersebut tetapi diolah untuk kepentingan mereka,” kata Zulfadly. 

Zulfadly juga menyampaikan bahwa AS bukan tidak memiliki regulasi Pelindungan Data Pribadi, tetapi mereka memiliki aturan berdasarkan negara bagian bukan secara nasional. Berbeda dengan Europe yang memiliki General Data Protection Regulation (GDPR)

“Tapi so far mereka concern bagaimana melindungi dengan cybersecurity protection yang baik,” kata Zulfadly. 

Berbeda, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menyebut AS bukan negara yang aman bagi data-data di Indonesia. Perusahaan-perusahaan dan lembaga pemerintahan di AS tidak kebal atas serangan siber dengan marakya pemberitaan kebocoran data di Negeri Paman Sam. 

Pada Juli 2024, sebanyak 1,4 GB data vital Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dikabarkan bocor. Data tersebut mencakup data pribadi karyawan dan proyek-proyek besar. 

Kemudian, 3 hari lalu data peretas memanfaatkan celah di server perangkat lunak Microsoft yang menyebabkan data 400 perusahaan berhasil dicuri.

“Tiap hari ada data bocor di AS,” kata Ardi. 

Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang bersejarah antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia di berbagai sektor, termasuk di sektor digital terkait proses pengolahan data pribadi. 

Di sektor tersebut, Donald Trump lewat keterangan resmi Gedung Putih menyebut AS dan RI menghapus hambatan perdagangan digital dengan berencana merampungkan komitmen mengenai perdagangan digital, jasa, dan investasi.

Sejumlah komitmen diambil oleh Indonesia. Pertama, memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi keluar dari wilayah Indonesia ke AS melalui pengakuan bahwa AS memberikan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.

Kedua, menghapus tarif HTS (harmonized tariff schedule) atas produk tidak berwujud dan menangguhkan persyaratan deklarasi impor terkait.

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami