Bisnis,com, JAKARTA — Kesepakatan dagang yang memperbolehkan pengelolaan data pribadi warga Indonesia oleh Amerika Serikat (AS) menuai kekhawatiran atas nasib investasi data center di Tanah Air.
Ketua Umum Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO), Hendra Suryakusuma mengatakan langkah ini berpotensi menimbulkan konflik dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang telah disahkan, sekaligus menciptakan ketidakpastian iklim investasi, khususnya untuk pembangunan data center di Tanah Air.
Hendra memberi contoh rencana investasi Damac Group yang sebelumnya akan membangun data center berkapasitas 230MW senilai Rp37 triliun di Indonesia.
Menurutnya, dengan adanya potensi data Indonesia diproses di luar negeri, investor bisa saja mengurungkan niatnya membangun pusat data di Indonesia.
“[Investor data center] melihat kabar tersebut stop ah bangun di sini [Indonesia] ngapain juga? Toh data Indonesia akan dibawa ke sana [AS],” tutur Hendra kepada Bisnis, dikutip Minggu (27/7/2025)..
Selain itu, dia juga menyorot potensi tekanan berat terhadap pemain data center lokal, seperti Biznet, DCI Indonesia, Telkom TDE, dan lainnya.
Dengan kemudahan transfer data ke luar negeri, beban komputasi yang semula diharapkan dibangun di Indonesia bisa beralih ke Amerika Serikat.
Hal ini bukan hanya melemahkan pasar domestik, tetapi juga menimbulkan risiko teknis seperti naiknya latensi karena server berada di luar negeri, sehingga kualitas akses dan pelayanan digital untuk masyarakat merosot.
Hendra juga menegaskan perlunya kajian ilmiah mendalam sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan, dengan melibatkan kementerian terkait dan institusi pendidikan yang kompeten di bidangnya.
“Keuntungan ekonomi mungkin terasa di awal, tapi dalam jangka panjang, kedaulatan digital dan ketergantungan pada infrastruktur asing akan membayangi,” ujar Hendra.
Risiko lain yang menjadi perhatian Hendra adalah dampak geopolitik dan keamanan data bagi Indonesia.
Saat terjadi masalah bilateral, layanan digital vital bisa diputus tiba-tiba. Dia mencontohkan kasus di Rusia waktu perang Ukraina. Saat itu layanan finansial internasional seperti Visa dan Mastercard dihentikan.
“Indonesia juga bisa mengalami hal serupa jika terlalu bergantung pada server asing,” kata Hendra.
Isu keamanan data juga masih menjadi perhatian besar, mengingat kasus kebocoran data di Indonesia yang kerap terjadi.
Hendra menekankan, data strategis seperti keuangan, kesehatan, layanan publik, dan pendidikan sebaiknya tetap diproses di dalam negeri demi melindungi industri data center nasional dan keamanan informasi masyarakat.
Jika kebijakan ini dilanjutkan tanpa mitigasi, Hendra memperkirakan banyak perusahaan besar membatalkan atau memindahkan investasi mereka ke luar negeri. Bahkan pemain lokal yang sudah menempatkan data di Indonesia bisa saja memindahkan seluruh layanannya ke server luar negeri.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang bersejarah antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia di berbagai sektor, termasuk di sektor digital terkait proses pengolahan data pribadi.
Di sektor tersebut, Donald Trump lewat keterangan resmi Gedung Putih menyebut AS dan RI menghapus hambatan perdagangan digital dengan berencana merampungkan komitmen mengenai perdagangan digital, jasa, dan investasi.
Sejumlah komitmen diambil oleh Indonesia. Pertama, memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi keluar dari wilayah Indonesia ke AS melalui pengakuan bahwa AS memberikan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.