Bisnis.com, JAKARTA— Target pemerataan akses internet berkecepatan tinggi 100 Mbps di Indonesia dinilai sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Butuh peta jalan dan jalan yang berkelanjutan.
Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif menilai bahwa fokus utama seharusnya bukan sekadar pada pencapaian angka kecepatan internet seperti 100 Mbps, 200 Mbps, atau bahkan 1 Gbps.
Menurutnya, yang lebih penting adalah upaya bertahap untuk meningkatkan kualitas internet secara keseluruhan di Indonesia.
“Enggak begitu, ada step-stepnya. Banyak yang perlu dipersiapkan menuju ke arah angka-angka tersebut. Yang bukan hanya dari sisi industri aja, tapi regulasinya, lain-lainnya juga perlu dipersiapkan,” kata Arif dalam Focus Group Discussion (FGD) Penataan Kesehatan Industri dan Konektivitas Telekomunikasi yang digelar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) secara daring pada Kamis (3/7/2025).
Arif menekankan pentingnya memiliki roadmap yang jelas dalam pengembangan kualitas internet nasional.
Menurutnya anpa roadmap yang jelas dan dukungan lintas sektor, cita-cita menghadirkan internet berkecepatan tinggi hanya akan menjadi wacana. Menurutnya, 100 Mbps harus dijadikan tujuan bersama, bukan kebijakan instan.
“Jadi menurut saya 100 Mbps ini jangan langsung jadi kebijakan, tapi jadi sebuah tujuan bahwa ke depan kita sama-sama bareng merapikan industri, regulasi, agar kualitas internet Indonesia lebih baik lagi,” kata Arif.
Senada dengan APJII, Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir menilai pencapaian internet cepat 100 Mbps sangat tergantung pada skema bisnis yang berkelanjutan dan terjangkau oleh masyarakat.
“Kuncinya tuh bisnis model. Bisnis modelnya mau kayak apa? Kalau kita, misalnya membangun kota jadi cantik, tapi cost per giga atau harga ke masyarakat naik. Apa itu mau? Itu juga harus kita pertimbangkan,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa efisiensi biaya menjadi faktor kunci agar harga layanan tetap terjangkau. Menurut Marwan, keinginan masyarakat akan layanan internet yang bagus dan murah adalah dilema yang tidak mudah dipenuhi.
Dia juga menyoroti pentingnya regulasi dan demand pasar dalam menentukan arah pembangunan infrastruktur.
“Kita mau tata kelola, bukan nggak dukung tata kelola, kita ingin tata kelola ini baik. Fiber optik di kota bagus, 100 Mbps bisa kita capai, kapannya itu yang kunci tergantung hitung-hitungannya, ini bisnis modelnya masuk nggak di masyarakat,” lanjut Marwan.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kondisi Indonesia yang sangat beragam memerlukan pendekatan berbeda-beda.
“Kita bisa ukur nih dengan kategori pengukuran yang berbeda-beda. Sesuai demand, ini Indonesia. Indonesia masih berada di kategori yang berbeda. Jadi kita nggak usah memaksakan sesuatu yang kita nggak bisa capai, kalau cost per GB-nya ternyata nggak bisa dimakan nanti,” ucapnya.
Butuh Dukungan Regulasi
Sementara itu, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Mangasas Swandy menyoroti hambatan regulasi sebagai tantangan utama dalam percepatan pembangunan infrastruktur jaringan. Dia menyebut beberapa aturan belum sepenuhnya mendukung upaya ini.
Dia juga menyinggung belum adanya aturan teknis dari PP 46 Tahun 2021, yang menyebabkan keterbatasan penggunaan APBD untuk pembangunan infrastruktur TIK.
“Sehingga akhirnya, bagian fiskal di Kementerian Dalam Negeri itu ada item di APBD. Bagian infrastruktur itu nggak bisa dipakai di APBD. Karena takutnya ada KPK, penyalahgunaan keuangan daerah, dsb,” jelasnya.
Menurut Jerry, perlu ada strategi dan diskresi pemerintah agar infrastruktur jaringan bisa dibangun secara bertahap dan berkelanjutan. Dia juga menekankan pentingnya koordinasi lintas kementerian dan kejelasan kewenangan di daerah.
“Otorisasi jalan itu sesuai dengan Permen PUPR nomor 20 tahun 2010, dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2022, itu ada di PUPR. Iya kan? Tapi diskominfonya terlalu kuat. Jadi ini ada salah satu, mungkin harus kita bahas nih beberapa daerah yang memang harus ada juknisnya yang terarah,” ucap Jerry.