Bisnis.com, JAKARTA - Kejahatan siber menjadi isu krusial di tengah digitalisasi. Dalam beberapa pekan lalu, masyarakat dihebohkan dengan serangan siber yang menimpa salah satu bank nasional. Grup Lockbit melalui serangan ransomware disinyalir menjadi biang kerok gangguan sistem bank dimaksud selama beberapa hari.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber terhadap sektor keuangan di Indonesia makin meningkat. Check Point Software Technologies mencatat Indonesia menjadi salah satu negara favorit para hacker. Rata-rata serangan siber sektor keuangan global tercatat sebanyak 1.083 kali per minggu dalam 6 bulan terakhir. Sementara itu, di Indonesia lebih banyak 252%, yaitu setidaknya terdapat 2.730 kali.
Tingginya serangan siber di Indonesia mengindikasikan para hacker lebih mudah melakukan serangan di Indonesia. Tak ayal, pada 2022, Cyber Security Index mencatatkan Indonesia berada pada posisi 83 dari 160 negara perihal keamanan siber.
Indonesia mendapatkan skor 38,96 pada indeks keamanan siber dan skor 46,84 pada tingkat pengembangan digital.
Dengan gambaran itu, ke depan, penguatan sinergi dan inovasi dalam memerangi kejahatan siber perlu makin giat dilakukan, terutama pada aspek people, proses, dan teknologi. Manusia (people) menjadi rantai paling lemah dalam keamanan digital. Kenyataannya, Indonesia menghadapi kekurangan tenaga ahli keamanan siber. SecLab BDO Indonesia mengungkap bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi IT di Indonesia memilih untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber. Dalam hal ini, lembaga pendidikan dapat mengambil peran sebagai penyedia digital talent melalui penyesuaian kurikulum pendidikannya sesuai dengan bidang spesifik digitalisasi, khususnya terkait dengan keamanan siber.
Di sisi proses, literasi digital dan penguatan perlindungan konsumen menjadi hal yang penting untuk ditingkatkan. Indeks literasi digital Indonesia pada 2022 mencapai 3,54 (skala 1—5). Walaupun lebih tinggi dari tahun sebelumnya, aspek keamanan masih berada pada level yang rendah, yaitu hanya 3,12. Untuk itu, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi pentahelix dalam meningkatkan literasi digital ini.
Aspek yang tak kalah penting lainnya dalam penguatan proses adalah perlindungan data. Kasus serangan ransomware perbankan kembali mencuatkan isu terkait pentingnya lembaga perlindungan data pribadi yang belum juga dibentuk pascapengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada Oktober 2022. Oleh karena itu, perlunya keseriusan pemerintah untuk segera mengetok palu terwujudnya lembaga ini. Lembaga ini diharapkan dapat berperan dalam perumusan, penetapan, dan pengawasan perlindungan data pribadi, penegakan hukum administratif terhadap UU PDP, dan fasilitasi penyelesaian sengketa pengadilan.
Tentunya, pemberantasan kejahatan siber ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi pentahelix yang apik untuk menghadapinya. Kita patut mengapresiasi beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini, diantaranya pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pengesahan UU PDP, pertukaran informasi untuk mendukung penegakan hukum, dan peningkatan literasi digital melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi.
Sebagai bagian dari tugasnya, Bank Indonesia (BI) perlu juga untuk memperhatikan dan mengambil tindak lanjut dalam memitigasi resiko keamanan siber agar tercipta kestabilan sistem keuangan dan kelancaran lalu lintas pembayaran. Untuk meningkatkan literasi keuangan, BI telah menggandeng Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan (FKPPPK) dalam penyelenggaraan Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) yang diadakan setiap tahun.
Sementara itu, untuk mendukung perlindungan konsumen, BI juga telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia. Tak hanya itu, BI juga melakukan penguatan perlindungan konsumen melalui pengawasan perilaku penyelenggara di bidang sistem pembayaran, pasar uang dan pasar valas, kegiatan layanan uang, serta pihak lainnya yang diatur dan diawasi BI.
Upaya pemberantasan kejahatan siber tidak hanya dilakukan di level nasional, tetapi juga perlu melibatkan kerja sama internasional, mengingat kejahatan siber selalu melibatkan sindikat internasional. Beberapa tahun terakhir ini, Asean merupakan salah satu sasaran empuk para hacker. Hal ini dikarenakan Asean mempunyai cakupan yang luas, terdiri dari 11 negara yang memiliki banyak data penting terkait pemerintah, perbankan, dan industri di berbagai sektor. Selain itu, infrastruktur teknologi dan keamanan siber di Asean masih lemah, sehingga memudahkan para hacker untuk melakukan serangan dan mencuri data.
Di satu sisi, Asean digadang-gadang memiliki potensi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi digital. Pada 2030, ekonomi digital Asean diproyeksikan mencapai US$2 triliun dengan kontribusi berkisar 28% dari PDB Asean. Tentu saja, pertumbuhan ekonomi digital ini menjadikan Asean makin dekat dengan ancaman siber. Potensi terjadinya kejahatan siber kian meningkat dengan tingginya penggunaan layanan digital di semua lini bisnis.
Sebagai keketuaan Asean 2023, Indonesia perlu kembali membawa kepentingan dan masalah yang dihadapi negara Asean dalam upaya pemanfaatan jasa keuangan digital dan penanganan risiko siber. KTT ke-42 Asean menjadi ajang yang tepat untuk menyatukan kembali komitmen dan memperluas kerangka kerja sama para anggotanya dalam menciptakan ranah siber yang aman, andal, damai, dan terbuka. Hal ini untuk mewujudkan stabilitas dan integrasi keuangan di kawasan Asean, serta memperkuat pertumbuhan ekonomi kawasan, dan pada akhirnya menjadikan Asean sebagai “epicentrum of growth”.