Bisnis.com, JAKARTA - CEO OpenAI Sam Altman mengungkapkan mahalnya biaya pengembangan sistem kecerdasan buatan (AI) telah mendorong perusahaan untuk beralih dari perusahaan nonprofit menjadi profit.
ChatGPT pun menerapkan harga layanan, yang tidak menutup kemungkinan ke depan akan makin mahal dan andal.
Pendiri ChatGPT itu menambahkan, sejauh ini OpenAI baru mendapatkan lebih dari US$10 juta atau sekitar Rp149,2 miliar dan berharap mendapatkan lebih banyak keuntungan pada masa depan.
Dia mengatakan pada awalnya memang layanan tersebut dijalankan secara gratis atau non-profit.
Namun, hal itu dilakukan karena pihaknya punya misi yang harus dijalankan, yakni membuat AGI (artificial general intelligence) yang aman dan mencari cara bagaimana bisa menguntungkan manusia.
"OpenAI tetap setia kepada misi tersebut. Akan tetapi, taktik kami harus berubah setelah menyadari betapa mahalnya sistem teknologi ini," ujarnya dalam acara tanya jawab di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Selain mahalnya teknologi, Altman mengaku perubahan juga disebabkan keinginan OpenAI menarik orang-orang bertalenta, serta menciptakan jaringan yang besar.
Untuk itu menurut dia, OpenAI tidak mungkin mewujudkan hal tersebut dengan status sebagai perusahaan non-profit. Meski di satu sisi, mereka tetap ingin menyediakan teknologi AI yang menguntungkan bagi manusia sesuai dengan misi perusahaan.
"Jadi kami membentuk struktur baru. Non-profitnya masih ada, tetapi ada subsidiary [anak usaha] yang mendapatkan keuntungan, sehingga kami bisa memberi investor dan karyawan kami hal yang pasti," ucap Altman.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim memang mempertanyakan alasan perusahaan memutuskan adanya peralihan OpenAI dari nonprofit ke profit.
"Saya ingin tahu apa pertimbangan Anda mengalihkan OpenAI dari nonprofit ke profit. Saya ingin mendengar mengapanya dan apakah ada kekhawatiran tentang peralihan itu dan jika ada, apa kekhawatirannya?" tanya Nadiem dalam kesempatan tersebut.