Bisnis.com, JAKARTA - Startup, bakar uang, kripto dan semua hal terkait disebut oleh banyak orang, bahkan muncul di halaman utama Kompas (15/3) sebagai penyebab utama terjadinya krisis keuangan yang sementara ini kita sebut saja ‘krisis bank teknologi’. Namun, benarkah itu? Bisa jadi bukan seperti itu.
Mungkin kita bisa melihat dari perspektif yang lain, bahwa bukan bakar uang dan startup yang menjadi penyebab krisis itu, karena itu semua justru korban, bukan penyebabnya. Penyebab utamanya adalah karena terlalu banyak uang di dalam sistim ekonomi (excess liquidity) sehingga mendorong terjadinya krisis.
Bagaimanapun fenomena bakar uang hanya mungkin terjadi jika ada uang berlebih dalam bentuk excess liquidity yang akan dibakar. Dan, bahkan ancaman terjadinya resesi global akibat inflasi tinggi dan suku bunga tinggi yang saat ini mengancam kita pun semuanya boleh jadi berawal karena fenomena excess liquidity ini.
Excess liquidity ini jika dilihat lebih dalam berasal dari Central Bank di seluruh dunia yang memang memiliki otorisasi untuk mencetak uang, seperti halnya Bank Indonesia. Global excess liquidity ini menurut satu estimasi jumlahnya adalah US$25 triliun. Untuk meletakkan dalam konteks betapa besarnya angka itu, jumlahnya kira-kira 26% dari global GDP yang nilainya US$95 triliun. Kenapa Central Bank mencetak uang begitu banyak melebihi kegiatan ekonomi, itu semua terkait dengan pemberian stimulus selama pandemi Covid-19. Pasti kita semua masih mengingat bahwa selama masa pandemi semua upaya pengobatan dan pencegahan Covid harus dilaksanakan at all cost, dengan pembiayaan dari paket stimulus.
Dalam perspektif itu kemudian, startup dan bakar uang sejatinya bukanlah penyebab terjadinya krisis, karena sekali lagi hal itu adalah akibat, bukan penyebab, karena tanpa excess liquidity tidak akan ada uang yang dibakar. Jadi di sini startup itu hanya korban. Karena kita memahami bahwa memang demikianlah model bisnis startup, yang membutuhkan banyak uang karena penemuan teknologi baru memang sangat mahal. Tanpa startup, semua teknologi dan aplikasi yang ada di handphone kita saat ini tak akan pernah ada. Masalah utamanya sebetulnya karena ada uang yang melimpah ruah itu dalam bentuk excess liquidity itu maka akhirnya semua berlomba masuk ke startup, walau tentu sangat berisiko karena historical data memperlihatkan bahwa sukses ratio startup itu sangat kecil. Namun, startup akan terus ada, model bisnisnya juga tak akan berubah dan akan berpotensi terus memicu krisis baru, jika pendanaan dari excess liquidity kembali masuk.
Jika penyebab utama krisis bukanlah startup atau bakar uang, lalu masalah apa sebetulnya yang menyebabkan krisis ini? SVB di dalam balance sheetnya punya komposisi aset yang agak berbeda dengan bank konvensional karena 50% lebih ada di surat utang yang sebagian besar berupa T-Bond (surat utang pemerintah) dan baru sisanya berupa kredit kepada startup. Kredit kepada startup itu mungkin dapat bermasalah, tetapi tidak pada saat ini, karena akar masalahnya adalah pada portfolio surat utang itu. Portofolio surat utang itu melonjak berkali kali lipat selama periode 2-3 tahun terakhir ini, saat SVB membeli surat utang itu menggunakan uang berlebih dari nasabah deposannya yaitu startup. Dari mana startup memperoleh uang? Dari venture capital yang memperoleh pendanaan investor dengan menggunakan excess liquidity itu sebagai sumber dananya.
Bagaimana kemudian portofolio surat utang itu bisa menjadi pemicu krisis sangat terkait dengan kebijakan suku bunga tinggi yang telah dijalankan selama ini oleh bank sentral untuk mengendalikan inflasi. SVB membeli surat utang itu pada saat interest rate rendah beberapa tahun lalu, dengan maturity menengah-panjang (10 tahun lebih). Ketika interest rate naik terus seperti saat ini, nilai surat utang pun menjadi turun, karena interest rate & bond price punya hubungan yang terbalik. Ketika yang satu naik, yang lainnya turun. Maka yang kemudian terjadi adalah di dalam buku SVB terjadi ‘potensial loss’ karena nilai surat utang saat ini kurang dari harga belinya. Sederhananya ada potensi kerugian. Apakah hal ini akan menjadi kerugian yang nyata? Besar kemungkinan ya, karena pada satu titik SVB harus menjual surat utang itu, karena membutuhkan dana untuk membayar pokok & bunga deposito nasabah.
Dan potensi kerugian inilah yang sebetulnya penjadi pemicu krisis, karena kemudian nasabah menjadi panik dan berusaha menarik dana simpanannya bersama-sama.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dan bagaimana antisipasi situasinya? Satu hal yang harus diwaspadai adalah bahwa situasi seperti SVB ini terjadi juga di banyak bank lain di seluruh dunia. Artinya, bank lain juga punya portofolio surat utang yang besar sekali dalam bukunya yang dananya berasal dari excess liquidity, dan saat ini sudah menyimpan ‘potensial loss’ dengan skenario seperti yang terjadi di SVB. Dengan tren kenaikan suku bunga yang terus berlanjut seperti saat ini, maka kemungkinan ‘potensial loss’ berubah menjadi ‘real loss’ menjadi makin nyata dan dekat. Dan karena kita punya banyak pengetahuan dan pelajaran dari krisis keuangan sebelumnya, bahwa satu ledakan kecil saja didalam financial system kadang cukup untuk memicu reaksi berantai yang dapat memicu ledakan besar lain yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan. Hal itu tentu harus diwaspadai dan menjadi perhatian semua pihak.