Author

Iwan Soemekto

Financial Market Specialist PPP Joint Office-Bappenas

Lihat artikel saya lainnya

Opini: PHK di Perusahaan Teknologi Indonesia

Iwan Soemekto
Kamis, 15 Desember 2022 | 07:13 WIB
Ilustrasi badai PHK yang menerjang perusahaan teknologi dan startup. Dok. JIBI
Ilustrasi badai PHK yang menerjang perusahaan teknologi dan startup. Dok. JIBI
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Dari pengamatan tanda-tanda awal akan munculnya masalah di sektor teknologi sudah terlihat sejak kuartal III/2022 ketika aliran dana dari venture capital yang selama ini menjadi penyokong utama keberlangsungan usaha perusahaan teknologi mulai menurun volumenya.

Menurut crunchbase.com pada kuartal III/2022 jumlah pendanaan yang disalurkan venture capital ke sektor teknologi mengalami penurunan sebesar US$90 miliar atau 53 persen dari kuartal III/2021 hingga menjadi sebesar US$81 miliar, sedangkan jika dibandingkan dengan kuartal II/2022 maka penurunan yang terjadi adalah sejumlah US$40 miliar atau 33 persen.

Penurunan pendanaan venture capital yang terjadi pada kuartal III/2022 ini bukanlah hal yang berdiri sendiri karena terkait erat dengan berbagai gejolak global economy dan geopolitik pascapandemi Covid-19. Dimulai dari hambatan sisi suplai yang pulih lebih lambat dari konsumsi, antara lain karena lockdown partial berkelanjutan di China, sehingga mulai mendorong kenaikan harga-harga secara umum yang kemudian ditambah dengan meroketnya harga energi dan pangan akibat perang Rusia-Ukraina, dan pada akhirnya dengan dorongan kelebihan likuiditas global yang berlimpah akibat dari program stimulus global selama 2 tahun pandemi Covid-19 yang menurut suatu estimasi berjumlah hingga US$25 triliun berujung pada melonjaknya tingkat inflasi global ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Sebagai antisipasinya, kemudian bank sentral di seluruh dunia pun mulai bergerak seirama menaikkan tingkat suku bunga ke level yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya untuk mengakhiri periode suku bunga mendekati nol yang telah berlangsung hampir selama 15 tahun terakhir sejak Global Financial Crisis 2008, sehingga langsung mengubah landscape investasi dan keuangan.

Kombinasi high inflation dan high interest rate mendorong terjadinya aliran besar dana investasi global, yang selama ini merupakan sumber pendanaan utama venture capital ke safe haven asset, seperti dolar AS dan franc Swiss, emas, saham-saham di sektor utility, healthcare, biotechnology, consumer goods, serta juga Treasure Bills (T-Bills).

Penurunan pendanaan dari venture capital ini pun diperkirakakan merupakan faktor utama yang memaksa perusahaan teknologi melakukan PHK, terlebih lagi bagi perusahaan teknologi yang masih jauh dari tahapan profitable dan cash surplus. Sejatinya, akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi sepanjang 2022 tidak hanya perusahaan teknologi yang mengalami tekanan berat, tapi juga banyak perusahaan di sektor lain.

Hanya saja kemudian dalam situasi ini perusahaan teknologi harus menghadapi situasi yang jauh lebih sulit, dikarenakan model bisnisnya yang memang jauh berbeda dengan perusahaan non-teknologi.

Perusahaan teknologi sejak awal pendiriannya memang didesain untuk mengembangkan dan menjalankan bisnis dengan tingkat pertumbuhan yang eksplosif, dan tidak linear seperti lazimnya perusahaan non-teknologi dengan driving factor berupa teknologi baru dan proses bisnis yang yang scalable.

Karenanya dengan model bisnis seperti ini maka untuk mendapatkan nilai valuasi yang tinggi, sehingga dapat menarik minat venture capital untuk melakukan pendanaan, business plan perusahaan teknologi selalu dibuat dengan asumsi super-optimistis dengan skenario agar produk yang dikembangkan perusahaan tersebut dapat dengan cepat diterima oleh user secara luas.

Dalam implementasinya, untuk dapat menjalankan business plan yang super-optimistis ini perusahaan teknologi harus mampu menarik best talent dengan iming-iming gaji dan kompensasi di atas rata-rata, sehingga secara umum menjadikan biaya tenaga kerja sebagai komponen biaya terbesar.

Karena itu kemudian dengan proporsi biaya tenaga kerja yang sangat tinggi dan agar dapat tetap mempertahankan margin usaha pada level yang diharapkan, maka dalam hal terjadi perlambatan pertumbuhan usaha seperti yang saat ini sedang terjadi di hampir seluruh bagian dunia, perusahaan teknologi tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan PHK.

Diperkirakan bahwa perfect storm yang saat ini sedang melanda perusahaan teknologi belum akan berlalu dalam waktu dekat. Hanya perusahaan yang telah berada dalam tahapan profitable dan cash surplus yang akan dapat terus bertahan.

Perusahaan teknologi dengan ekses tenaga kerja harus melakukan PHK agar dapat terus bertahan. Venture capital juga akan lebih fokus pada pendanaan di tahap awal, dan penurunan harga saham perusahaan teknologi dapat terus berlanjut sebagai koreksi pasar.

Pada akhirnya perfect storm ini diprediksi tidak akan menyapu bersih semua perusahaan teknologi seperti saat terjadinya dotcom bubble burst di akhir periode 1990-an, karena faktanya saat ini solusi teknologi sudah merupakan keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Namun, apa yang lebih mungkin terjadi adalah the great reset technology sector yang dapat mengubah seluruh elemen industri, seperti model bisnis, nilai valuasi, dan juga tingkat kompensasi pekerja teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Iwan Soemekto
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper