Bisnis.com, JAKARTA - Fenomena badai pemutusan hubungan kerja (PHK) seakan telah menjadi momok yang tidak bisa dihindari untuk dijadikan sebagai 'bumper' bagi perusahaan rintisan atau startup di Indonesia bahkan global untuk bertahan hidup.
Sepanjang tahun berjalan, sudah terjadi 1.311 kasus PHK yang dilakukan oleh startup di seluruh dunia. Dilansir dari laman resmi Trueup, Jumat (2/12/2022), tech winter memakan korban hingga 210.664 karyawan yang terkena PHK.
Dampak tech winter di Indonesia juga terlihat, saat ini sudah ada 23 perusahaan teknologi dan startup di Tanah Air mereduksi jumlah karyawannya sejak awal tahun.
Mulai dari startup vertikal agritech seperti TaniHub; vertikal e-commerce seperti JDID, Shopee, dan Ula; vertikal edutech seperti Zenius, Ruangguru, dan Binar Academy; hingga yang sudah berstatus unikorn dan dekakorn seperti Xendit, Ajaib, GoTo, dan Grab.
Fenomena ini membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate angkat bicara. Dia memberi arahan agar para startup yang melakukan efisiensi tidak dengan mudah memilih untuk PHK karyawan.
"Efisiensi bukan layoff [PHK], tolong dicari betul-betul [solusi], jangan sampai jangan terlalu mudah melakukan layoff," ujar Johnny dalam acara Forum Ekonomi Digital Kemenkominfo V, Kamis (1/12/2022).
Dia menegaskan PHK tidak akan membantu dan menolong perusahaan. Melainkan startup harus mulai bisa tumbuh dengan modal usaha yang lebih resiliensi terlebih dengan masalah ekonomi yang tak menentu atau stagflasi.
Sementara, Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo Samuel Abrijani Pangerapan justru menganggap badai PHK tidak akan mempengaruhi nilai ekonomi digital Indonesia. Artinya, Tanah Air masih memiliki potensi yang besar bagi pasar digitalisasi.
Dalam studi berjudul eConomy SEA 2022 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan mencapai US$77 miliar atau setara Rp1.197,8 triliun (kurs Rp15.557 per US$) pada 2022. Angka ini merefleksikan pertumbuhan 22 persen secara tahunan.
Menurutnya, PHK yang menimpa industri startup saat ini cenderung karena upaya rasionalisasi bukan penurunan bisnis.
"Bukan hanya di Indonesia, startup di dunia punya kebiasaan untuk merekrut sebanyak-banyak digital talent. Maka dari itu, sekarang membutuhkan rasionalisasi ini," ujarnya dalam acara Forum Ekonomi Digital Kemenkominfo V, Kamis (1/12/2022).
Pria yang akrab dipanggil Sammy ini berpendapat dengan adanya situasi ekonomi yang lebih ketat, startup mulai melihat sejumlah pekerja tidak lagi terlalu dibutuhkan perannya, sehingga dilakukan rasionalisasi.
Pernyataan tersebut dipertegas oleh Alpha JWC Ventures yang menyebut biaya operasional (operational expenditure/opex) menjadi biang kerok startup melakukan PHK.
SVP Value Creation Alpha JWC Ventures Ricky Chandra mengatakan anggaran yang dikeluarkan startup didominasi oleh biaya operasional yang mayoritas berasal dari gaji karyawan.
"[Pengeluaran] paling besar itu dari opex yang mayoritas dari gaji karyawannya," ujar Ricky dalam acara Peluncuran Growth & Scale Talent Playbook di Asia Tenggara, Jumat (2/12/2022).
Dia menjelaskan opex bisa juga berasal dari pembiayaan pemasaran dan penjualan. Namun, biaya keduanya tidak bisa asal dikurangi karena justru berisiko menghambat pertumbuhan bisnis startup itu sendiri.
Menurutnya, beberapa startup suka melakukan percobaan bisnis baru, tetapi tidak semua usahanya berhasil. Dengan demikian, kegagalan bisnis tersebut membuat startup cenderung menempuh langkah PHK karyawan yang dinilai paling efektif untuk melakukan efisiensi kembali.
Efisiensi Terakhir
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menilai, tahun ini seharusnya menjadi periode terakhir bagi startup di Indonesia untuk melakukan pembenahan internal, termasuk dalam melakukan efisiensi.
Pria yang juga menjabat sebagai bos PT BNI Modal Ventura ini menyarankan agar setiap startup memiliki prioritas pembenahan sesuai fase atau tahapan perkembangannya masing-masing.
Bagi startup tahap early stage, jajaran manajemen perusahaan harus mampu menerapkan prinsip product-market fit atau kesesuaian produk pasar. Adapun, product-market fit menyiratkan bahwa perusahaan menghasilkan sebuah produk yang berkualitas, relevan dengan target pasar dan dapat memenuhi kebutuhan mereka yang terjangkau.
Sementara itu, lanjutnya, bagi startup yang sudah matang alias fase growth stage maupun late stage, diharapkan mampu mempersiapkan strategi menghadapi perubahan kondisi perekonomian tahun depan.
"Terkadang, ada founder startup yang barangkali terlalu muluk-muluk, ibaratnya selalu berpikir 'i will change the world'. Sebenarnya idealisme itu tidak salah dan saya sangat hargai. Tapi, ya, harus pikirkan bisnis juga," ujarnya, Jumat (2/12/2022).
Menurutnya, para pendiri startup acap kali kesulitan dalam menentukan target pasar. Pasalnya, tak jarang suatu startup memiliki produk yang hanya mengatasi potensi masalah, alias masalah tersebut belum mendesak atau solusinya belum relevan dalam kondisi terkini. Selain itu, menurutnya, target pasar startup bersangkutan terlalu sedikit, sehingga belum pas untuk diberlakukan monetisasi.
Dia berpendapat apabila masih ada startup tahap growth stage dan late stage yang masih melakukan PHK pada tahun depan, kemungkinan ada lima penyebab.
Pertama, telah kalah bersaing dengan kompetitor. Kedua, sudah terlanjur jor-joran dalam strategi bakar uang, sehingga tidak sebanding dengan pendapatan.
Ketiga, terlalu banyak merekrut talenta digital dengan gaji yang tinggi dan membebani biaya operasional perusahaan. Keempat, terdampak perubahan kebiasaan konsumen pada era pandemi.
Kelima, memang terjadi karena adanya pengaruh ekonomi yang makin memburuk, sehingga memang membutuhkan efisiensi berupa PHK karyawan.