Bisnis.com, JAKARTA – Sepanjang tahun ini, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari Trueup, sepanjang 2022 sudah terjadi 576 PHK yang berdampak pada 93,774 karyawan di seluruh dunia.
Sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat, menunjukan kondisi anomali. Riset bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” mengatakan para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43 persen lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja.
Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif.
Menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Meski hasil survei ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, tetapi pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya Rudy Handoko berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia.
“Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat,” ujar Rudy, pada Kamis (4/8/2022)
Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya.
“Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru.” jelasnya
Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University. Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi.
Tetapi pengalaman sebagai founders perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan, sehingga perekrut meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan.
Partners di Living Lab Ventures Bayu Seto menilai sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. Dia mengatakan mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas, para mantan pendiri dinilai kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker.
" Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi,” ujarnya.
Namun ia juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market.
“Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala trend pasar berubah seketika.” jelasnya
Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang “pindah kuadran” menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid.
Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta (sebisa mungkin) membentuk budaya non-hirarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.
Terlepas dari hasil survei itu, sejumlah perusahaan masih mengutamakan kompetensi skill calon pekerja, apapun latar belakangnya. Hal ini berlaku di XL Axiata.
“Kami menyeleksi kandidat berdasarkan kecocokan skill competency dan kecocokan budaya kerja. Pengembangannya juga berlaku sama bagi semua karyawan yang sudah bergabung di XL Axiata,” ujar Group Head People Services XL Axiata Mochamad Hira Kurnia.
Hira yang berpengalaman merekrut sejumlah mantan pendiri startup, menyatakan memang ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan dari kelompok tersebut.
“Terutama dalam hal kemampuan menganalisis inovasi versus risiko dan kemampuan managing people, dan kecepatan proses beradaptasi dengan lingkungan enterprise yang fokus terhadap balance sheet,” ujarnya.
Di sisi lain, kelompok ini juga memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan perusahaan perekrut. Misalnya kemampuan networking mereka serta kemampuan dalam mengelola segmen bisnis dalam skala tertentu.”