Bisnis.com, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut Indonesia membutuhkan setidaknya sembilan satelit untuk bisa meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, cepat dan tepat.
Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef M. Edward menilai ketimbang membangun satelit pendeteksi bencana, lebih baik saat ini pemerintah menambah radar cuaca.
"Saat ini lebih urgent menggunakan radar cuaca, karena untuk satelit harus dapat slot orbit satelit dan pembuatannya yang membutuhkan proses panjang," kata Ian, Kamis (24/3/2022).
Menurutnya, bila ingin memiliki satelit pendeteksi bencana sendiri, hal pertama yang harus dipikirkan selain satelitnya adalah slot orbit, alokasi frekuensi dan sistem pengendali.
Dalam hal ini, sambung dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan berperan dalam hal pengadaan slot orbit, membantu pembangunan hingga penempatan satelit.
"Namun kendalanya untuk satelit cuaca, operasionalnya cukup mahal dan dikendalikan oleh orang-orang yang bersertifikasi," ucap Ian.
Lebih lanjut dia menambahkan, BMKG saat ini sudah punya radar cuaca yang berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk pengadaan frekuensinya.
Ia menyarankan, lebih baik saat ini radar cuaca yang ditambah karena untuk satelit, perizinannya akan lebih sulit dan harus berkoordinasi dengan Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU).
"Izin posisi satelit istilahnya filling, diberikan oleh ITU dengan pengajuan dari Kemenkominfo," imbuhnya.
Sementara itu, ahli satelit Josaphat Tetuko Sri Sumantyo mengatakan dalam membuat satelit memerlukan proses yang panjang guna mendapatkan ide dan membangun modelnya.
Dia menyebut, pembangunan satelit perlu membuat sensor "remote sensing", dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, kemudian dibangun dan diluncurkan ke orbit bumi.
Namun begitu, menurut dia, dalam mendeteksi bencana tidak bisa hanya mengandalkan sensor yang dipasang di permukaan bumi karena tingkat akurasinya akan kalah dibandingkan tanpa kolaborasi menggunakan satelit.
"Kita perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, kita ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau kita pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana kurang akurat," katanya dikutip dari laman BMKG, Kamis (24/3/2022).