Bisnis.com, JAKARTA – Geopolitik dunia kembali memanas seiring mencuatnya konflik antara Rusia dan Ukraina. Ukraina, bekas republik Soviet, memiliki bom atom terbesar ketiga di dunia.
Bahkan, The Good Judgement Project sebuah organisasi yang dipimpin oleh para profesor di University of Pennsylvania mengatakan bahwa mereka memprediksi kemungkinan terjadinya perang diantara keduanya.
Pada Selasa (15/2/2022) Rusia secara terbuka menyatakan menarik mundur sebagian dari 130.000 tentaranya. Kendati demikian, perang antara Rusia dan Ukraina masih mungkin terjadi lantaran Ukraina tetap ingin menjadi anggota NATO.
Agresi tersebut masih bisa dengan mudah berubah menjadi konflik militer terbesar di tanah Eropa. Namun, pengamat menilai pengerahan pasukan yang dilakukan Rusia tak lain merupakan "gimmick" semata, mengingat Ukraina merupakan panggung yang cukup besar bagi Rusia untuk mencoba menegaskan kembali pengaruhnya di Eropa dan dunia, dan bagi Putin untuk memperkuat warisannya.
Namun, ada pula pengamat yang tetap skeptis terhadap statement kemunduran yang disampaikan secara terbuka oleh Putin tersebut. Dia juga meyakini bahwa Rusia tetap dalam posisi untuk melancarkan invasi jika memang diinginkan.
Selain telah meningkatkan pelatihan sipil dalam taktik gerilya, sempat mencuat informasi bahwa Ukraina memperingatkan bahwa mereka dapat membuat senjata nuklir untuk mengimbangi Rusia jika Kiev tetap tidak diizinkan bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Perang seperti itu akan menjadi bencana kemanusiaan. Menurut penilaian intelijen AS, Rusia mungkin dapat dengan cepat mengambil bagian timur negara itu dan bahkan mungkin ibu kota Kyiv.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Akar krisis saat ini dinilai tumbuh dari pecahnya Uni Soviet. Ketika Uni Soviet bubar di awal tahun 90-an, Ukraina, bekas republik Soviet, memiliki persenjataan atom terbesar ketiga di dunia.
Amerika Serikat dan Rusia bekerja dengan Ukraina untuk denuklirisasi negara itu, dan dalam serangkaian perjanjian diplomatik , Kyiv mengembalikan ratusan hulu ledak nuklirnya ke Rusia dengan imbalan jaminan keamanan yang melindunginya dari potensi serangan Rusia.
Jaminan itu diuji pada tahun 2014, ketika Rusia menginvasi Ukraina. Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan yang dipimpin oleh separatis pro-Rusia di wilayah Donbas timur.
Namun yang jelas adalah mempelajari perang itu sulit karena alasan sederhana bahwa para peneliti masih kekurangan titik data yang memadai. Tetapi tentu saja, kurangnya data tidak menghentikan para sarjana hubungan internasional dan peneliti lainnya untuk tidak mengajukan teori terkait.
Diantaranya adalah, adanya praktik realis ofensif, yang berpikiran bahwa setiap negara ingin mencapai setidaknya hegemoni regional dan akan terus berjuang untuk mempertahankannya dan realis defensif, yang berpikir bahwa dorongan inti setiap negara bagian adalah untuk bertahan hidup.
Intinya, para peneliti berasumsi bahwa perdamaian dunia akan selalu ditunggangi setidaknya oleh dua kubu, kaum liberal ‘perdamaian demokratis’, yang menganggap nilai-nilai liberal dan komunikasi terbuka dari pemerintah perwakilan mencegah perang. Serta kaum konstruktivis, yang menekankan bahwa apa yang dianggap sebagai keamanan internasional bervariasi dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.