Keperkasaan Data Bisa Ambyar Seperti Minyak Bumi

Inria Zulfikar
Jumat, 26 November 2021 | 18:56 WIB
Analisis berbasis big data kian popuer. /Bisnis
Analisis berbasis big data kian popuer. /Bisnis
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Dengan kehadiran data, tamatkah nasib minyak bumi sebagai salah satu energi fosil yang telah mewarnai ekonomi dan politik dunia selama hampir dua abad terakhir?

Generasi berubah. Demikian pula paradigma. Alhasil, minyak yang licin tak lama lagi bakal masuk peti sejarah.

Pada 1875, minyak mengubah wajah ekonomi dunia. Dalam The Seven Sisters, Anthony Sampson mengatakan sebagian persoalan minyak sudah tampak jelas dalam beberapa tahun pertama keberadaannya, ketiba tiba-tiba saja industri ini tumbuh di Pennsylvania, AS.

Rute pipa minyak pertama yang legendaris menghubungkan Oleopolis dan Pleasantville, hingga berujung di kota kecil Titusville, tempat minyak pertama kali dibor pada 1859 oleh ‘Kolonel’ Edwin Drake.

Kota tersebut adalah pengingat penting mengenai kekhawatiran yang paling awet tentang minyak, yaitu bahwa minyak bisa habis. Namun para perintis awal yakin bahwa akan selalu ada minyak di tempat lain.

Bagi banyak petualang awal ini, ada semacam ‘campur tangan Tuhan’ dalam penemuan cairan berharga itu, tepat ketika ikan-ikan paus yang selama itu menyediakan minyak lampu mulai menghilang dari lautan.

Kota-kota gubuk boleh datang dan pergi tetapi para pengebor tidak ragu bahwa akan ada kota-kota baru. Dan ketika para perintis Pennsylvania menyebar ke seluruh Amerika, bisnis minyak segera mendapat karakter nomaden istimewa.

“Hanya beberapa tahun sesudah Drake mengebor, Amerika tanpa minyak seperti tak terbayangkan,” kata Sampson. Namun tak lama sejak kelahirannya pula, industri minyak mengenal frasa angker yang disebut ‘the bottom fell out the market.’ Sebuah kondisi ketika pasar tiba-tiba ambyar.

Lalu, pada 2006 matematikawan asal Amerika Serikat Clive Humby mengemukakan pengamatannya bahwa data is the new oil. Seperti minyak, data adalah sesuatu yang berharga. Namun jika tidak ‘dimurnikan’, data tidak dapat digunakan.

Dalam hal minyak, ia harus diubah menjadi gas, plastik, bahan kimia, dan lain sebagainya agar berwujud sebagai entitas berharga yang mendorong aktivitas yang menguntungkan.

Adapun data, ia harus ‘dipecah’ dan dianalisis agar memiliki nilai. Itulah yang diamati Humby. Terminologi futuristik ini kemudian menjadi laporan khusus majalah The Economist pada Mei 2017 dengan judul The World’s Most Valuable Resource is No Longer Oil, but Data.

Luar biasa penting keberadaan data saat ini. Kemajuan sebuah bangsa juga makin tidak dapat dipisahkan dengan kepiawaian sumber daya manusia dalam memanfaatkan data tersebut.

Dunia bisnis juga sangat bergantung padanya. Big data is the king. Begitulah kira-kira.  Bahkan Presiden Joko Widodo juga pernah mengatakan bahwa data akurat adalah kekayaan baru yang sangat berharga saat ini. Bahkan nilainya bisa lebih berharga daripada minyak.

"Data ini adalah jenis kekayaan baru. Saat ini data adalah new oil, bahkan lebih berharga dari minyak. Data yang valid menjadi salah satu kunci pembangunan," ujar Kepala Negara dalam acara pencanangan pelaksanaan sensus penduduk 2020 di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 24 Januari 2020.

Menurut Presiden, data yang valid sangat dibutuhkan untuk menyusun perencanaan, anggaran, kemudian membuat kebijakan hingga mengeksekusi kebijakan tersebut untuk hasil yang efektif.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan jajaran pejabat pemerintahan agar tidak merencanakan dan mengambil keputusan tanpa data. Terlebih, jika keputusan penting diambil hanya berdasarkan asumsi atau perasaan semata.

Hal yang perlu dicermati adalah apakah data memiliki ‘titik lemah’ seperti halnya minyak bumi ketika kehadirannya membuat banyak orang tiba-tiba menjadi lupa daratan?

Itulah sebuah kondisi ketika pasar tiba-tiba runtuh (the bottom fell out the market). Kehidupan para pengebor berubah cepat dari gembira menjadi sengsara bila harga jatuh.

Di sisi lain, dari rahim industri ini juga lahir seorang John D. Rockefeller, Sang Dewa Perminyakan. Dengan model bisnisnya yang canggih untuk ukuran saat itu, dia pun cepat meroket mendahului zamannya.

Bahkan sempat membuat pemerintah federal tak berdaya mengimbangi sepak terjang bisnisnya yang menggurita cepat melalui sebuah Trust yang dibentuknya dengan lihai.

Gerakan ini, kata Rockefeller dalam sebuah penggalan terkenal, adalah awal mula keseluruhan sistem administrasi ekonomi modern. Gerakan yang, menurutnya, telah merevolusi cara melakukan bisnis di seluruh dunia.

“Masa penggabungan akan bertahan selamanya. Invidualisme sudah pergi dan tak akan pernah kembali.” 

Kisah raja minyak sudah sesak menghiasi wajah ekonomi dan politik dunia selama hampir dua abad terakhir.

Akankah kita juga akan melihat kemiripannya, sehingga bakal memunculkan istilah ‘raja data’, ‘negara kaya data’, ‘embargo data’, ‘kartel data’ atau berbagai bentuk kedigdayaan data lainnya?

 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper