Bisnis.com, JAKARTA – Harga bandwidth internasional yang terus merosot membuat operator penyelenggara jaringan sistem komunikasi kabel bawah laut (SKKL) internasional ‘banting setir’ dengan memanfaatkan kapasitas yang dimiliki untuk keperluan pelanggan pribadi dan sister company.
Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) Galumbang Menak mengatakan saat ini sebanyak 60–70 persen kapasitas SKKL internasional yang dimiliki perseroan, dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan internet bergerak – pelanggan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN) - dan internet tetap Moratelindo. Adapun sisanya, sekitar 30 persen disewakan kepada perusahaan telekomunikasi lain.
Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa tahun lalu, yang sebanyak 80 persen kapasitas disewakan kepada perusahaan lain dan 20 persen digunakan untuk mendukung layanan sendiri.
Galumbang menjelaskan strategi tersebut dilakukan agar perusahaan dapat bertahan di tengah dinamika industri SKKL, yang terus melahirkan perusahaan SKKL internasional baru dan harga bandwidth yang jatuh.
“Kami tidak hanya bicara yang internasional yang domestik juga seperti itu keadaannya. Kalau murni jualan ke operator lain itu akan terasa berat, sehingga yang bertahan adalah yang punya pelanggan sendiri,” kata Galumbang kepada Bisnis.com, Senin (5/4/2021).
Galumbang menjelaskan harga bandwidth internasional terus mengalami penurunan yang signifikan setiap tahunnya.
Berdasarkan pengalamannya, pada 2000, saat Moratelindo menjual bandwidth internasional, per Mbps harganya bisa mencapai US$100.000. Adapun saat ini harganya di bawah US$1 per Mbps. Harga tersebut terus mengalami penurunan hingga 20 persen setiap tahunnya.
“Sekarang karena harganya sudah di bawah turunnya hanya sekitar 20 persen. Dahulu turunnya bisa mencapai 50–100 persen” kata Galumbang.
Galumbang berpendapat adopsi digital yang meningkat tidak serta merta membuat bisnis SKKL internasional moncer. Kebutuhan kapasitas yang terus meningkat kontradiktif dengan harga bandwidth yang justru menurun.
“Di dunia ini hanya telekomunikasi yang turun terus harganya kalau yang lainnya naik terus. Harga listrik naik, makanya pasarnya tidak mudah,” kata Galumbang.