Pemerintah Harus Teliti dalam Hitung Jumlah Operator Multipleksing

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 4 Maret 2021 | 20:35 WIB
Ilustrasi siaran digital
Ilustrasi siaran digital
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu berhitung secara matang dan transparan mengenai jumlah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang berhak terlibat sebagai penyelenggara multipleksing.

Jika salah berhitung, lembaga penyiaran tidak dapat beroperasi sehingga perusahaan dan masyarakat dirugikan.  

Direktur PT Visi Media Asia Tbk. (VIVA) Neil Tobing mengatakan dengan beralihnya siaran analog ke digital, jumlah lembaga penyiaran yang beroperasi di Indonesia diperkirakan mendekati 50 lembaga atau 2 kali lipat dari jumlah yang ada saat ini.

Pemerintah perlu memastikan dan transparan tentang jumlah penyelenggara multipleksing yang dibutuhkan di satu wilayah layanan. Penghitungan ini dibutuhkan agar jumlah lembaga siaran yang banyak tersebut mendapat slot dan bisa memberikan layanan kepada masyarakat ketika beralih ke digital.

“Apalagi lembaga penyiaran lama tidak mau menggunakan [kualitas resolusi siaran] standard definition, pasti mereka inginnya High Definition,” kata Neil kepada Bisnis, Kamis (4/3/2021).

Berdasarkan catatan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dalam satu kanal –sebesar 8 MHz – dapat menampung program siaran sebanyak 10 program dengan kualitas gambar standard definition (SD) atau gambar berkualitas rendah.

Ketika kualitas gambar ditingkatkan menjadi high definition (HD), maksimal program yang dapat ditampung dalam satu kanal hanya 6 program dan ketika dikembangkan lebih lanjut menjadi 8k, program yang dapat tertampung oleh pita selebar 8 MHz hanya 3 program.

Neil berpendapat dengan kondisi tersebut maka dalam satu provinsi atau satu wilayah layanan, jumlah penyelenggara multipleksing tidak cukup  2 – 3 penyelenggara saja, melainkan lebih banyak lagi.

“Rencana-rencana seperti itu harus lebih terbuka,” kata Neil.

Neil mengungkapkan Viva – tv One dan antv – berminat terlibat menjadi penyelenggara multipleksing. Saat ini Viva telah memiliki infrastruktur multipleksing di 11 kota besar yang menjadi acuan Nielsen.

Neil menyampaikan dalam membangun infrastruktur multipleksing di satu titik layanan membutuhkan belanja miodal sekitar Rp15 miliar Jumlah tersebut bisa lebih besar atau lebih kecil tergantung kondisi geografis, teknologi, perangkat dan beberapa hal lainnya.

“Karena ini bukan kota-kota utama [yang 22 provinsi] Kalau seperti di Bali dan Denpasar mungkin bisa Rp15 miliar karena juga harus sistem cadangan [redundansi] untuk menjaga kualitas,” kata Neil.  

Dia mengatakan ketika terlibat sebagai penyelenggara multipleksing, menjaga kualitas layanan menjadi suatu kewajiban karena menyangkut kepentingan LPS lainnya yang menyewa multipleksing di tempat mereka.

“Kalau sekarang mati atau gangguan yang rugi cuma kita, tetapi nanti kalau mati yang rugi seluruh LPS yang menyewa layanan,” kata Neil.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper