Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat menilai terdapat kesenjangan pada industri game Tanah Air sehingga seolah-olah sektor ini tak menarik di mata pemodal, padahal potensi dari sektor ini sangat besar
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan bahwa gap tersebut adalah pasar gim tidak mengenal batas antar negara dan budaya .
“Tidak ada batas negara dan budaya sehingga tingkat persaingan di pasar game sangat ketat, baik secara modal maupun teknologi. Walaupun bukan hanya game yang memiliki kualitas terbaik yang akan menjadi pemenang, tetapi game yang membuat para pengguna nyaman untuk memainkannya,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (27/11/2020).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa fokus para pemodal melihat model bisnis dari pengembang untuk memonetisasi produknya.
Namun, dia mengamini bahwa implikasi dari rendahnya minat pendanaan turut berkorelasi terhadap minimnya pangsa pasar gim lokal di Tanah Air.
Dia melanjutkan bahwa pada 2019 investasi ke pengembang gim lokal hanya US$2 juta atau sekitar Rp30 miliar. Sebaliknya, nilai investasi ini lebih rendah dibanding China dengan angka US$5 miliar dan Korea Selatan dengan US$1 miliar.
“Bahkan, Vietnam mendapat suntikan dana US$50 juta. Belum lagi, PUBG Corporation telah menyuntikan dana US$100 juta dan perusahaan mengganti nama gimnya menjadi PUBG Mobile India. Dari sini, karena pendanaan di industri gim Indonesia masih minim, maka pasar gim lokalnya pun serupa," katanya.
Lebih lanjut, Dianta menilai sebenarnya potensi industri gim di Indonesia sangat besar dengan jumlah pemain yang terus bertambah. Alasannya, infrastruktur yang terus dibangun untuk mendukung penetrasi internet di Indonesia dan kepemilikan ponsel pintar juga meningkat dengan cepat.
Berdasarkan Riset Global Mobile Gaming Confederation (GMGC) Sea Mobile Report 2017 menyebutkan rata-rata pertumbuhan pasar industri gim di Indonesia mencapai nilai 37,3 persen per tahun sepanjang 2013—2017.