Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat telekomunikasi mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memperbolehkan pengalihan spektrum frekuensi . Pasalnya, kebijakan tersebut berpotensi disalahgunakan.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa dirinya masih menunggu peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang membahas mengenai pengalihan spektrum frekuensi.
Pengaturan mengenai pengalihan frekuensi harus diatur secara mendetail. Perusahaan telekomunikasi juga diminta agar sadar bahwa frekuensi milik publik, bukan milik perusahaan telekomunikasi.
“Jangan sampai kesannya, spektrum frekuensi adalah aset perusahaan telekomunikasi sehingga bisa dijual begitu saja ke pihak lain,” kata Heru kepada Bisnis, Selasa (3/11).
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Telematikan Indonesia Kristiono mengatakan bahwa spektrum frekuensi memiliki peran penting dalam mendukung transformasi digital yang sedang dilakukan oleh para operator seluler.
Kebutuhan spektrum frekuensi besar, tetapi yang tersedia saat ini sangat terbatas. Terdapat peluang untuk memanfaatkan spektrum yang belum optimal digunakan oleh operator telekomunikasi.
Dia menegaskan untuk memanfaatkan spektrum yang belum optimal tersebut, harus dibuat peraturan yang jelas agar tidak disalahgunakan.
“Tentu saja ada safeguard agar tidak terjadi praktik yang menyimpang dari tujuan semula, safeguard perlu diatur dalam peraturan turunan dari undang-undang dimaksud,” kata Kristiono.
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro ITB Ian Yosef M. Edward menegaskan bahwa frekuensi tidak dapat diperjualbelikan karena milik negara.
Proses pengalihan frekuensi pun harus diatur dengan ketat agar tidak membuka peluang praktik ‘jual beli’ frekuensi antarpenyelenggara telekomunikasi.
Praktik negatif tersebut dapat berupa aktivitas pengumpulan frekuensi oleh penyelenggara telekomunikasi. Perusahaan tidak menggelar jaringan, tetapi menyewakan spektrum ke perusahaan lain.
Praktik lainnya adalah melalui skema akuisisi dan merger. Perusahaan pemilik spektrum—tetapi tidak menggelar jaringan—berharap diakuisisi oleh perusahaan lain sehingga secara otomatis frekuensi yang dimilikinya beralih ke operator lain.
“Namanya operator harusnya mengoperasikan sesuatu, bukan pemberi frekuensi,” kata Ian.
Ian juga berpendapat bahwa praktik jual beli frekuensi akan berdampak pada harga dan layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Mereka berpotensi mendapat harga yang lebih mahal atau kualitas yang tidak terlalu baik karena saat ini belum ada peraturan yang mengatur mengenai standar kualitas layanan spektrum frekuensi hasil dari pengalihan.