Uji Materi UU Penyiaran, KPI: Jangan Berasumsi Membatasi Kreativitas Medsos

Herdiyan
Kamis, 27 Agustus 2020 | 13:21 WIB
Komisioner Komite Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis./Bisnis-Jaffry Prabu Prakoso
Komisioner Komite Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis./Bisnis-Jaffry Prabu Prakoso
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menilai uji materi UU Penyiaran yang diajukan dua televisi nasional merupakan langkah tepat.

Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dinilai guna mempertegas definisi dalam mengatur media baru streaming digital dan tidak bermaksud membatasi kreativitas media sosial.

“Jangan berasumsi membatasi kreativitas media sosial, ini bukan mengebiri kreativitas. Kita mengatur tentang bertumbuhnya industri dalam negeri,” ujar Yuliandre dalam pernyataannya, Kamis (27/8/2020).

Menurut Yuliandre, uji materi UU Penyiaran yang diajukan RCTI dan iNews TV merupakan langkah untuk mencari keadilan di mata hukum.

Lantaran banyak dari berbagai pihak tidak peduli dengan adanya gempuran platform media digital di Indonesia saat ini.

Melihat situasi ini, RCTI dan iNews TV muncul mengajukan judicial review UU Penyiaran ke MK, sehingga ada definisi yang jelas dalam mengatur media baru.

“Ini menarik dan bagus, karena banyak yang tidak peduli dengan situasi ini, kemudian RCTI dan iNews TV mengajukan judicial review agar ada kepastian hukum dengan definisi lainnya, sehingga media baru diatur oleh KPI dan Kominfo,” terangnya.

Menurut Yuliandre, bertumbuhnya konten digital dan televisi streaming yang terus marak masuk ke dalam negeri tanpa ada regulasi dapat berpengaruh buruk kepada masyarakat, khususnya generasi muda, terutama konten produksi berbau tontonan dewasa.

“Nah, ada TV streaming masuk ke kita, terus dia nggak ada regulasi dan 100% kontennya dari luar semua, tapi bisa dinikmati di Indonesia. Kedua, dia bisa ada adegan seks kapan saja, bisa ditonton kapan saja. Jadi, harus ada sesuatu aturan yang sama di mata hukum ketika tayang di Indonesia. Harus sama dong,"  ujarnya.

Persoalan lain, Yuliandre melanjutkan munculnya konten digital tanpa disaring bisa menjadikan media baru digital untuk memprovokasi dan ajang mempropaganda bagi Indonesia di mata dunia.

"Misal Indonesia adalah negara yang paling ini itu. Bisa saja menjelekkan. Ayo kita lindungi Indonesia dan publik kita," tegasnya.

Seperti diketahui, menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis Internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing, adalah tujuan dari stasiun televisi RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi (judicial review/JR) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. 

"Jika JR dikabulkan, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis Internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoax) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI. Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis Internet lokal maupun asing," kata Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik.

Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis Internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA, sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan. 

Putusan dari JR tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Penyiaran No.32/ Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis Internet, seperti OTT, media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," jelasnya.

Chris menjelaskan tayangan lewat mobile juga menggunakan spektrum frekuensi radio, di mana tayangan lewat wi-fi juga menggunakan spektrum frekuensi radio di 2,4GHz.

"UU No.32/2002 dapat dipergunakan sebagai pijakan untuk mengatur tayangan video berbasis Internet. Tanpa ada spektrum frekuensi radio, semua tayangan video berbasis Internet tidak dapat ditransmisikan, sehingga tidak dapat ditonton," tegasnya.

Dalam penjelasan UU Penyiaran No. 32/2002, maksud dan tujuannya mencakup pengaturan teknologi digital dan Internet sebagaimana dengan tegas ditulis di butir 4 yaitu:

Mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, Internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran.

Sebagai informasi, isi siaran yang dilarang adalah bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Herdiyan
Editor : Herdiyan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper