Bisnis.com, JAKARTA – PT XL Axiata Tbk. rutin mengkaji efektivitas kerja sama yang terjalin dengan mitra bisnis, termasuk vendor penyedia teknologi.
CEO & Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini mengakui bahwa pihaknya menjalin kerja sama dengan Ericsson pada periode 2012—2015.
Dia mengatakan saat itu proses kerja sama telah mengacu kepada prinsip good governance untuk memastikan bahwa proses dilakukan dengan intergritas yang tinggi sesuai nilai yang dianut perusahaan.
Dia mengatakan bahwa Ericsson merupakan salah satu perusahaan yang menjadi mitra penyedia teknologi jaringan di XL. Secara periodik, XL pun memantau dan melakukan kajian terhadap efektivitas kerja sama yang menyangkut hubungan dengan mitra bisnis, temasuk mengenai permasalahan yang sedang menjerat Ericsson secara global.
“Tentu tidak menutup kemungkinan untuk mempertimbangkan tindakan bilamana ada kondisi di luar dugaan yang bisa mempengaruhi kelangsungan bisnis kami,” kata Dian kepada Bisnis.com, Senin (9/12/2019).
Sebelumnya, Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyatakan bahwa Ericsson mengakui pembayaran senilai US$45 juta pada periode 2012—2015 ke perusahaan konsultan, untuk pengelolaan dana suap (slush fund) di Indonesia.
Pembayaran tersebut adalah bagian dari aktivitas Ericsson yang melanggar aturan soal tindakan korupsi asing (Foreign Corrupt Practice Act/FCPA), yang dituduhkan penegak hukum Amerika Serikat kepada Ericsson. Ericsson telah setuju untuk membayar denda bernilai lebih dari US$1 miliar ke pemerintah AS dan otoritas bursa AS (SEC) sebagai penyelesaian kasus tersebut.
Ericsson menggunakan pihak ketiga dan konsultan untuk melakukan pembayaran suap kepada pejabat pemerintah dan/atau untuk mengelola dana tertentu yang tidak tercatat di pasaran.
Sementara itu, Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. Ririek Adriansyah mengatakan bahwa pada periode 2012-2015, Telkom sempat menjalin kontrak dengan Ericsson hanya saja nilai kontraknya relatif kecil.
Dia mengatakan akan mempelajari lebih lanjut mengenai kontrak tersebut. Meski demikian, dia meyakini jika seandanya terjadi kesalahan nilainya sangat kecil.
“Kami akan cek lebih lanjut tapi kemungkinan itu terjadi sangat kecil karena nilainya kecil dan melalui proses tender,” kata Ririek.Hati-Hati
Wakil Direktur PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki kerja sama dengan Ericcson. Saat ini, perseroan masih menggunakan Nokia dan Huawei sebagai mitra bisnis.
Dia mengatakan bahwa dalam menentukan mitra teknologi perseroan merujuk pada beberapa hal. Pertama, komersialisasi, perseroan mengukur harga yang ditawarkan dan lama waktu pembayaran. Kedua, implementasi teknik, sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keinginan perseroan. Dan terakhir, proses setelah membeli, garansi yang diberikan berapa lama.
Tidak hanya itu, perseroan juga ketat dalam memegang prinsip good governance melalui mekanisme lelang.
“Kami juga memiliki tim internal audit. Semua dikawal dengan baik good governance nya,” kata Danny.
Senada, Deputy CEO PT Smartfren Telecom Tbk. Djoko Tata Ibrahim mengatakan bahwa perseroan menggunakan ZTE sebagai mitra teknologi. Smartfren tidak menggunakan Ericcson.
Djoko mengatakan dalam memilih vendor Smartfren melihat fleksibilitas pembayaran yang ditawarkan vendor. Bisnis telekomunikasi merupakan investasi jangka panjang. Operator akan terbebani jika diminta pembayaran besar sekaligus. Kemudian, juga kualitas teknologi yang digunakan seberapa besar manfaatnya.
Mengenai prinsip good governance, tutur Djoko, perseroan berusaha menjalankan prinsip tersebut dengan sangat ketat dan diawasi langsung oleh direksi.
“Kami punya bagian pengadaan itu sangat ketat sekali dan itu diawasi langsung oleh direksi jadi tidak ada peluang untuk itu [kecurungan]. Sangat ketat dan berliku aturannya,” kata Djoko.