Bisnis.com, JAKARTA – Regulasi mengenai berbagi infrastruktur telekomunikasi, berbagi jaringan frekuensi hingga regulasi mengenai merger dan akuisisi akan menjadi salah satu fokus Menteri Komunikasi yang baru.
Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2019–2024 Jhonny G. Plate mengatakan pada masa kepemimpinannya regulasi mengenai merger dan akuisisi akan terus dimatangkan, mengingat merger dan akuisisi merupakan bagian dari efisiensi nasional.
Merger dan akuisisi dapat dapat memangkas pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan oleh operator sehingga industri lebih efisien.
“Jangan ada double, triple infrastruktur [dalam satu tempat], tetapi pemakaian secara umum harus kita bangun karena itu efiensi,” kata Jhonny di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Dia mengatakan perlu ada peta jalan mengenai efisiensi pembangunan infrastruktur agar tercipta akselerasi pembangunan telekomunikasi, seperti melalui berbagi infrastruktur, berbagi frekuensi dan konsolidasi.
“Kalau bisa membangun satu semangat dan peta jalan efisiensi maka inilah bagian dari akselerasi pembangunan [berbagi infrastruktur, berbagi frekuensi, dan hukum konsolidasi] iya,” kata Jhonny.
Pada waktu yang berbeda, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna Mukti mengatakan bahwa draft revisi Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP no.53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang mengatur mengenai berbagi frekuensi dan infrastruktur telekomunikasi telah disiapkan sejak tahun lalu.
Hanya saja, karena beberapa hal yang tidak Dia sebutkan, peraturan tersebut belum disepakati.
“Dengan berbagai pertimbangan peraturan dimaksud tidak jadi diterbitkan,” kata Prihadi.
Dia berpendapat revisi PP 52 dan PP 53 diperlukan untuk dapat mengakomodasi keperluan penyelenggaraan telekomunikasi saat ini, seperti berbagi jaringan, Mobile Virtual Network Operator (MVNO), dan beberapa model bisnis baru.
Dia mengatakan pihaknya masih akan membahas mengenai revisi peraturan tersebut dengan sejumlah pemangku kepentingan.
“Nanti kami akan bicarakan dahulu dengan Dirjen PPI dan Dirjen SDPPI untuk kembali mendiskusikan materi muatan revisi PP 52 dan revisi PP53,” kata Prihadi.
Sebelumnya, Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kemkominfo Denny Setiawan mengatakan pihaknya sedang membahas mengenai spektrum frekuensi pascamerger dengan operator seluler.
Dia mengatakan Kemenkominfo bersama sejumlah pemangku kepentingan sedang mencari formula agar pemain dominan dalam frekuensi tertentu tidak perlu mengembalikan frekuensi ke pemerintah, setelah perusahaannya dilebur menjadi satu atau membangun perusahaan baru dengan operator lain.
“Setelah merger mereka (operator seluler) menjadi dominan di suatu frekuensi, jika kemarin dikembalikan, ini ada banyak cara, misalnya dikerjasamakan dengan operator lain. Jadi ada banyak cara, sehingga tidak harus satu-satunya cara dikembalikan,” kata Denny.
Mengenai pemanfaatan bersama frekuensi oleh operator, Kemenkominfo mengkaji beberapa opsi termasuk mengenai skema berbagi frekuensi dan roaming antar operator.
Dalam pembahasan, Kemenkominfo juga menghadirkan salah seorang pakar dan sebuah hasil studi mengenai spektrum pascamerger di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa sebagai rujukan.
Berdasarkan hasil studi, ada masukan juga bahwa pembagian spektrum frekuensi tidak perlu diatur dalam peraturan, mengingat sifat spektrum yang dinamis.
Sementara itu, Presiden Direktur & CEO PT XL Axiata Tbk. Dian Siswarini mengatakan XL Axiata mendukung hadirnya regulasi mengenai konsolidasi.
Dia berpendapat bahwa spektrum merupakan aset terbesar yang dimiliki oleh operator seluler, Saat operator akan merger dan akuisisi, operator berharap agar frekuensi dapat ditahan. Ketika tersebut harus kembali ke pemerintah, itu menjadi suatu hambatan untuk konsolidasi.
“Spektrum [frekuensi] itu merupakan aset yang sangat berharga. Kalau memang frekuensi bisa ditahan oleh perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi itu akan lebih baik. Itu akan menjadi stimulasi bagi operator untuk merger dan akuisi,” kata Dian kepada Bisnis.
Dia menambahkan saat ini frekuensi yang ada sangat kurang, terlebih untuk mengantisipasi hadirnya generasi ke lima atau 5G, yang membutuhkan banyak peta lebar atau bandwith.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah mengatakan regulasi konsolidasi perlu dirampungkan secepatnya, agar ketika ada operator seluler yang berminat konsolidasi, telah memiliki kepastian hukum.
Danny Buldansyah menambahkan mengenai penguasaan spektrum frekuensi oleh perusahaan pascamerger, beban lebih frekuensi dapat disewakan kepada operator lain dengan skema business to business (B2B), dengan syarat Menkominfo baru merevisi Peraturan Pemerintah no. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi serta Peraturan Pemerintah no. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Sehingga sharing frekuensi dimungkinkan.
“Boleh dan bisa dikerjasamakan dengan skema B2B. Makanya Peraturan Pemerintah no. 53/2000 harus direvisi dulu,” kata Danny.
Senada, Head Corporate Communication PT Indosat Tbk. Turina Farouk juga mengatakan bahwa regulasi akan memberikan kepastian bagi pelaku industri yang ingin melakukan konsolidasi.
Indosat memiliki frekuensi 2,5 di 850 MHz, 2x10 dan 2,5 di 900 MHz, 2x20 di 1.800 MHz, 2x15 di 2.100 MHz, dan 15 west java (WJ) di 2.300 MHz. Adapun dengan jumlah sebanyak itu, jumlah pelanggan Indosat hingga semester 1/2019 sebanyak 56,7 juta pelanggan.