JARINGAN INTERNET: Bakti Bakal Tambah 2 Satelit Baru untuk Jangkau Daerah 3T

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 21 Oktober 2019 | 14:45 WIB
 Satelit Nusantara Satu buatan PT Pasifik Satelit Nusantara./www.psn.co.id(psn.co.id)
Satelit Nusantara Satu buatan PT Pasifik Satelit Nusantara./www.psn.co.id(psn.co.id)
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Setelah pembangunan tiga proyek Sistem Komunikasi Kabel Laut Palapa Ring rampung, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi merencanakan pengembangan kapasitas internet di daerah tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia dengan menambah dua satelit.

Saat ini, satelit Multifungsi Satria— yang berkapasitas 150 Gbps—masih dalam tahap pembuatan. Setelah mengorbit, satelit tersebut bakal menyuntikkan jaringan internet ke 149.000 titik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia. Penggunaan satelit untuk menjangkau titik-titik tersebut mempertimbangkan aspek efisiensi biaya dan cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan penggunaan serat optik.

Bagaimanapun, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Latif menjelaskan satelit Satria hanya memiliki kapasitas 150 Gbps untuk menyalurkan internet di 150.000 titik. Artinya, setiap titik kemungkinan hanya mendapatkan 1 Mbps.

Jumlah tersebut dinilai kurang mumpuni untuk mendukung kegiatan di ribuan sarana pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan keamanan di daerah 3T.  

Menurut perhitungan Anang, untuk memberi pengalaman internet yang lebih baik, kapasitas yang dibutuhkan mencapai 1.000 Gbps atau 1 Tbps untuk sekitar 150.000 titik. Dengan demikian, salah satu opsi untuk menjembatani masalah kekurangan kapasitas tersebut adalah meluncurkan dua satelit lagi.

“Jadi nanti kapasitas satelit kedua [setelah satelit Satria] sebesar 300 Gbps, dan satelit ketiga 500 Gbps. [Ini rencana] 5 tahun ke depan,” kata Anang kepada Bisnis.com, belum lama ini.

Dia mengaku hingga saat ini Bakti belum tertarik menggunakan  wahana terrestrial langit atau High Altitude Platrform Station (HAPS) dan balon udara Goolge atau Google Loon untuk menyalurkan internet di daerah 3T. Bakti juga belum mempertimbangkan pemanfaatan satelit yang melaju di lingkaran orbit bumi rendah atau Low Earth Orbit (LEO) Satellite.

Anang menyebut Bakti lebih memilih penggunaan teknologi terbaru yang telah teruji. Dalam hal ini, satelit masih menjadi andalan. “Kami selalu kaji [teknologi] terbaru, kalau HAPS sudah matang dan layak, pasti kami pakai. Untuk saat ini, teknologi yang termatang adalah satelit multifungsi.”

Sekadar catatan, implementasi HAPS di Indonesia saat ini masih terbentur kekosongan frekuensi dan regulasi. Di samping itu, HAPS yang terbang di wilayah atmosfer bumi dengan ketinggan 20—25 km hanya memiliki cakupan jaringan seluas 240 km,  lebih kecil dibandingkan dengan cakupan satelit yang mencapai skala nasional.

Pada perkembangan lain, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan dengan kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan satelit Satria, maka satelit akan mengorbit lebih tinggi.

Dengan posisi orbit yabg lebih tinggi, lanjutnya, tantangan saat teknologi tersebut dijalankan adalah curah hujan di Indonesia. Sebab, makin tinggi sebuah satelit, sinyal yang ditembakkan akan makin peka terhadap cuaca. Meski demikian, dia meyakini kapasitas internet melalui satelit tersebut akan memberikan pengalaman berinternet yang lebih baik bagi masyarakat di daerah 3T.

“Penggunaan satelit dengan bandwidth 1 Mbps dibandingkan dengan satelit dengan bandwidth 2 Mbps,  utilisasinya lebih baik yang 2 Mbps.  Hal ini menandakan utilisasi berhubungan erat dengan kenyamanan penggunaan layanan internet.”

DAMPAK KE INDUSTRI

Sementara itu, Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan mengatakan wacana penambahan satelit akan berdampak pada kemajuan industri satelit nasional, asalkan Bakti menunjuk perusahaan satelit nasional untuk menjalankan proyek tersebut.

Pada pengadaan satelit Multifungsi Satria, Bakti menunjuk PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) untuk menjalankan program tersebut. PSN diharuskan mencari pendanaan hingga mengawasi jalannya pembuatan satelit, dengan nilai proyek sekitar Rp20,6 triliun. “Harapannya Bakti memprioritaskan industri satelit nasional [untuk 2 satelit baru]” kata Hendra.

Pada kesempatan lain, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memperkirakan kedua satelit baru mulai dikerjakan setelah satelit Multifungsi Satria meluncur pada 2022.

Berdasarkan catatannya, saat ini jumlah sekolah yang belum mendapat akses internet mencapai 214.000 titik, sedangkan satelit Satria hanya mampu memberi akses kepada 90.000 sekolah. Angka tersebut di luar dari jumlah sarana kesehatan, pemerintahan dan pos keamanan yang belum terjamah akses internet.

“Total kewajiban pemerintah dalam Palapa Ring sekitar Rp22 triliun, kurang lebih sama dengan satelit nanti 2022. Kita masih perlu dua satelit lagi, jadi pemerintah masih bangun 4.000 base transceiver station (BTS) lagi sampai 2020, “ kata Rudiantara.

Rudiantara juga berpendapat bahwa anggaran belanja untuk teknologi telekomunikasi dan informasi (information and communication technology/ICT) Indonesia harus ditambah. Dibandingkan dengan anggaran belanja ICT di sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, anggaran belanja ICT di Indonesia perlu ditambah hingga Rp100 triliun untuk beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan perhitungannya, belanja ICT di Indonesia saat ini hanya sebesar 0,13% dari total produk domestik bruto (PDB), padahal di Thailand jumlahnya mencapai 0,30% dan di Malaysia 0,60% dari PDB.

“Idealnya paling tidak [anggaran belanja ICT Indonesia] dekat dengan Thailand,” kata Rudiantara.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat Bakti perlu menghitung ulang jumlah titik yang akan disalurkan internet, selain merencanakana penambahan satelit baru.

Dia menegaskan bahwa Bakti harus menentukan prioritas cakupan kawasan yang menjadi kewajiban Bakti dan kawasan  yang merupakan kewajiban Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Sebab, kalau koneksi ke sekolah, kan sudah ada anggaran APBN 20%. Jangan sampai nanti nafsu besar, anggaran kurang. Jadinya tidak optimal serta di luar tugas dan fungsinya.”

Menurutnya, tanpa perhitungan yang presisi, akan terjadi tumpang tindih pekerjaan dan anggaran antarlembaga. Dia mengingatkan bahwa tujuan Bakti adalah menghadirkan akses infrastruktur telekomunikasi dan digital. Bukan sektor lainnya seperti pendidikan.

“Kalau semua ke Bakti, ya anggarannya tidak akan cukup. Apalagi, terus main satelit yang harganya triliunan [rupiah],” kata Heru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper