Bisnis.com, JAKARTA -- Penyebaran data pribadi seseorang yang diduga sebagai pelaku pengancam Presiden Joko Widodo (Jokowi) di media sosial beberapa hari lalu, mendapat perhatian publik.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan data pribadi seseorang bisa didapat dari server milik Dukcapil oleh lembaga-lembaga yang bekerja sama. Tetapi, data pribadi tak boleh disebarluaskan ke publik.
“Hanya boleh antar aparat penegak hukum untuk tujuan penegakan hukum. Di Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, sudah diatur kewajiban untuk menjaga rahasia data pribadi,” ucapnya kepada wartawan, Minggu (12/5/2019).
Sejauh ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Dukcapil sudah menjalin kerja sama dengan 1.181 lembaga untuk pemanfaatan data kependudukan. Atas kerja sama tersebut, ribuan lembaga bisa mengakses data kependudukan masyarakat Indonesia sesuai kebutuhan mereka.
Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) mencetak KTP-el di Kantor Disdukcapil Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (24/10)./ANTARA-Adeng Bustomi
Namun, kembali lagi, data yang bisa diakses lembaga-lembaga itu tak boleh disebarkan ke orang lain. Penggunaannya, ujar Zudan, juga terbatas hanya untuk keperluan masing-masing lembaga.
Persoalan data pribadi dan penyebarannya menyeruak usai data pribadi orang yang diduga HS, tersangka pengancam Jokowi, tersebar di media sosial setelah dirinya menyampaikan keinginannya membunuh presiden ketujuh RI itu. Ucapan HS tersebut viral dalam sebuah cuplikan video di media sosial dan aplikasi pesan singkat.
Setelah itu, HS dilaporkan Tim Jokowi Mania ke Polda Metro Jaya pada Sabtu (11/5). HS diduga melanggar Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap penguasa serta Pasal 27 ayat 4 Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang pemerasan dan/atau pengancaman secara daring.
Sebelum HS ditangkap, data dua orang yang diduga sebagai pengancam Jokowi sudah terlanjur tersebar di media sosial. Salah satu yang sempat membagikan gambar berisi data tersebut adalah Ulin Yusron, seorang pegiat media sosial dan sukarelawan Jokowi.
Penyebaran data oleh Ulin itulah yang disayangkan Zudan. Dia mengaku kecewa dengan adanya penyebaran data pribadi tersebut di media sosial.
“Saya sangat menyesalkan dan sangat kecewa ada lembaga yang tidak mematuhi aturan UU Adminduk dan perjanjian pemanfaatan data,” ujarnya.
Tim Jokowi Mania melaporkan pihak-pihak yang mengancam dan menyebarkan ancaman terhadap Presiden Joko Widodo ke Polda Metro Jaya, Sabtu (11/5/2019)./Bisnis-Andi M. Arief
Pasal Terkait
Ulin tercatat membagikan data pribadi dua orang bernama Cep Yanto dan Dheva Suprayoga di akun Twitter pribadinya, Sabtu (11/5). Tetapi, tak lama setelah itu, dia menghapus cuitan tersebut.
Ulin kemudian mengunggah cuitan lain yang meminta maaf atas kekeliruannya. Unggahan itu disertai sebuah tautan berita mengenai penangkapan HS oleh aparat kepolisian.
“Akhirnya. Mohon maaf kepada nama-nama yang disebut dan keliru. Ini murni kesalahan menerima informasi dan mengolahnya. Terima kasih yang sudah meramaikan percakapan soal penggal sehingga telah menutupi demo,” ujarnya, pada hari yang sama.
Perbuatan Ulin dianggap termasuk tindak pidana oleh pengamat dan ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, tindakan Ulin bisa masuk kategori pelanggaran atas Pasal 310 KUHP, Pasal 335 KUHP, atau Pasal 28 ayat (3) UU ITE.
Presiden Joko Widodo berpidato sebelum meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (Meksi) 2019-2024 di Jakarta, Selasa (14/5/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
Pasal 310 KUHP mengatur soal pidana pencemaran nama baik. Kemudian, Pasal 335 KUHP menyangkut perbuatan tidak menyenangkan. Adapun Pasal 28 ayat (3) mencantumkan aturan soal penghinaan atau pencemaran nama baik di media maya.
“Orang yang menyebarkan jelas sangat gegabah, otoritas yang mempunyai kewenangan adalah kepolisian,” ucap Fickar kepada Bisnis, Rabu (15/5).
Dia menyatakan seharusnya pembagian data pribadi di dunia maya tidak dilakukan pengguna media sosial di Indonesia. Hal itu dianggap tak pantas dilakukan, terlebih oleh orang terdidik.
Atas tindakan Ulin di Twitter, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri telah bergerak untuk menyelidiki dugaan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan simpatisan Jokowi itu. Penyelidikan masih berlangsung hingga berita ini ditulis.
Ilustrasi Twitter./Reuters-Kacper Pempel
“Semua masih dikaji ya, oleh penyidik Bareskrim, karena menyangkut masalah penggunaan data orang," tutur Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo seperti dikutip dari Tempo, Selasa (14/5).
Dia menuturkan penyidik perlu menemukan bukti hukum kuat dalam peristiwa ini. Jika selama pengkajian tidak ada bukti hukum yang kuat, maka penyelidikan bisa tetap berjalan melalui delik aduan.
Dedi juga menyampaikan bahwa pihak yang merasa dirugikan dari penyebaran data tersebut bisa melapor ke polisi.
"Setelah itu, penyidik melakukan suatu langkah-langkah hukum selanjutnya," imbuhnya.