Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri equity crowdfunding mengharapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan detail yang lebih jelas dalam peraturannya terkait dengan bisnis urun dana ini.
CEO PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare) Heinrich Vincent mengatakan ada beberapa hal yang masih belum diakomodasi di dalam Peraturan OJK (POJK) tentang equity crowdfunding ini. Salah satunya adalah soal secondary market dan persyaratan ISO 27001 terkait dengan standar keamanan data.
“Kami apresiasi OJK karena sebelumnya kami beroperasi di bawah Undang-Undang PT. Ke depannya, masyarakat butuh penjelasan agar customer terlindungi, maka kami butuh izin yang proper,” ujarnya, Kamis (9/5).
Regulasi dimaksud adalah POJK No. 37 /POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding).
Berdasarkan POJK equity crowdfunding menyatakan total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp10 miliar. Jumlah pemegang saham dibatasi maksimal 300 pihak dengan jumlah modal disetor maksimal Rp30 miliar.
Adapun bagi pemodal disyaratkan menanamkan dana maksimal 5%--10% dari penghasilan per tahun kepada penerbit, kecuali yang berbadan hukum dan pemegang rekening efek.
CEO & Co-Founder Alumnia Agus Wicaksono mengatakan ada beberapa hal yang belum diatur secara detail dalam POJK equity crowdfunding. Untuk itu, adanya sinkronisasi aturan diharapkan bisa mendukung pertumbuhan industri ini.
Dia menilai pembatasan 300 investor agak bertentangan dengan semangat equity crowdfunding. “Karena di crowdfunding kami berusaha mencari investor sebanyak-banyaknya,” ujarnya.
Namun, dia meyakini setiap pemain harus mengikuti aturan yang ada. Saat ini momentum yang sangat baik. Dengan tumbuhnya industri ini, Indonesia akan menuju kemandirian ekonomi.