Gotong Royong Merintis Revolusi Hijau

Deandra Syarizka
Minggu, 3 Maret 2019 | 16:35 WIB
Petani memanen cabai di persawahan Desa Terkesi, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (14/1/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho
Petani memanen cabai di persawahan Desa Terkesi, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (14/1/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam revolusi industri 4.0 yang tengah berlangsung, digitalisasi tak terhindarkan. Tak terkecuali di bidang pertanian. Sejak beberapa tahun terakhir, kehadiran perusahaan rintisan teknologi pertanian (agritech) pun tak terbendung layaknya jamur pada musim hujan.

Semangat para generasi muda yang mendirikan agritech itu tak luput dari perhatian Presiden Joko Widodo. Kita tentu masih ingat saat debat calon presiden yang digelar beberapa waktu lalu, Jokowi sebagai Calon Presiden Nomor Urut 01 sempat menyinggung pentingnya peran platform dagang-el dan agritech yang dapat membantu kehidupan para petani. Salah satu agritech yang sempat disebut Jokowi adalah TaniHub.

Co-Founder TaniHub Pamitra Wineka menyatakan, teknologi dapat membantu membuka akses informasi, sehingga petani tak hanya bisa mengetahui informasi harga, tetapi juga bisa berhubungan dengan banyak pembeli. Dengan demikian, petani pun tidak tergantung lagi dengan satu pembeli.

Melalui TaniHub, ujarnya, petani bisa mengetahui harga-harga acuan dan juga estimasi permintaan  produk pertanian pada masa mendatang karena Tanihub sudah melakukan agregat semua permintaan dari berbagai konsumen korporasinya, seperti supermarket, industri dan Unit Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Dengan terbukanya akses untuk pemasaran, para produsen dan petani bisa dengan lebih percaya diri menanam lebih banyak tanpa takut tidak adanya sarana penjualan. Otomatis panen mereka lebih banyak dan penghasilan bertambah.

“Semua itu dengan hanya teknologi untuk akses informasi,” ujarnya.

Begitu juga sebaliknya, para buyer bisa melihat prediksi panen dan harganya karena TaniHub sudah melakukan agregat segala informasi panen dari para petani yang menjadi mitra. Dengan demikian, konsumen bisa memprediksi biaya belanjanya.

Gotong Royong Merintis Revolusi Hijau

TaniHub merupakan salah satu lini bisnis TaniGroup. Selain TaniHub, TaniGroup juga memiliki bisnis lainnya yaitu TaniFund yang menyediakan sarana investasi bagi masyarakat umum dan juga menyediakan akses kredit kepada petani.

Senada, CEO Tanijoy Muhammad Nanda Putra menyatakan agritech yang didirkannya sejak sejak 2017 ini bertujuan memotong rantai pasok distribusi yang panjang antara petani hingga konsumen. Selain itu, juga bertujuan untuk menyerap sekaligus memberikan kepastian harga  kepada para petani. Semua hal tersebut dicapai dengan menggunakan pendekatan teknologi dan digitalisasi.

Pihaknya juga menawarkan  layanan investasi proyek pertanian kepada para investor. Melalui situs dan aplikasinya yang baru dirilis pada pekan lalu, para investor dapat menanamkan modalnya pada proyek pertanian yang dikerjasamakan dengan mitra lahan dan petani dengan imbal hasil tertentu dalam kurun waktu yang disepakati.  

Lebih lanjut, Tanijoy pun menugaskan field manager yang bertugas mengawasi dan mendampingi petani selama proyek berjalan. Adapun hingga kini, jumlah investor yang menanamkan modalnya di Tanijoy mencapai 1.270 orang, dengan total dana yang dikelola mencapai Rp8 miliar

“Sekarang jumlah petani yang bekerja sama dengan kami sebanyak 1.950 petani, masih ada potensi  26.000 orang petani yang sedang kami data dan siap untuk mulai project,” ujarnya.

Dia menambahkan, saat ini Tanijoy fokus mengelola produk holtikultura, dengan mayoritas komoditas yang diproduksi berupa kentang, cabai, sayur mayur, dan jagung.  Untuk menyerap produksi hasil pertanian, pihaknya pun bekerja sama dengan sejumlah pasar induk seperti Pasar Kramat Jati, dan sejumlah pasar di Jawa Tengah, Temanggung dan Yogyakarta.

Gotong Royong Merintis Revolusi Hijau

Untuk menjamin keuntungan yang diperoleh petani, pihaknya pun melakukan negosiasi dengan buyer untuk harga beli di atas Harga Pokok Penjualan (HPP). Sebagai gambaran, dia menyebut saat ini harga jual kentang berkisar Rp4.000 per kilogram, padahal biasanya dapat menyentuh Rp8.000 per kilogram. Sementara, HPP untuk kentang saat ini sebesar Rp4.500 per kilogram.

“Ya sudah kami nego ke buyer kasih harga Rp5.500 per kilogram. Minimal petani dapat untunglah,” ujarnya.

Selain kedua agritech yang telah disebutkan, salah satu perusahaan rintisan yang baru lahir di bidang agribisnis adalah Tanitred.

CEO Tanitred  Revi Firmansyah menyatakan, platform B2B [business to business] yang didirikannya bertujuan mensuplai kebutuhan dasar dan bumbu masak dari supplier ke restoran kecil.  Dia memulai pengembangan bisnisnya tahun ini dengan memasarkan komoditas pertanian yang memiliki permintaan tinggi seperti cabang, bawang merah dan bawang putih.

“Kami memulai secara B2B karena permintaannya lebih stabil, kalau B2C [business to customer] lebih kompleks,” ujarnya.

Pada tahun ini, dia menyatakan Tanitred fokus untuk mengakuisisi jumlah restoran kecil yang jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan ribu di sekitar Jabodetabek. Untuk supplier, dia mengaku telah bekerja sama dengan puluhan kelompok tani yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Lebih lanjut, dia pun menyambut baik banyaknya agritech yang lahir beberapa tahun belakangan ini. Dia mengaku tak menganggap hal tersebut sebagai persaingan, tetapi lebih kepada upaya untuk memajukan pertanian di Tanah Air.

Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia Bob Hardian memaparkan, teknologi sangat dibutuhkan di sektor pertanian. Pasalnya, dunia harus mampu memproduksi 70% makanan lebih banyak pada 2030 seiring dengan penambahan populasi. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri mengingat lahan pertanian yang terus berkurang, pencemaran polusi, serta pemanasan global.

Adapun pada saat ini, dia menyebut teknologi pertanian telah memasuki fase Agriculture 4.0. Fase ini ditandai setidaknya melalui tiga hal, yaitu sistem produksi yang menggunakan teknologi baru, pemanfaatan teknologi untuk menambah efisiensi rantai pasok makanan, serta penggunaan aplikasi dan teknologi lintas industri.

“Dalam jangka panjang, teknologi akan mampu meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Selain aplikasi, teknologi lainnya yang perlu dikembangkan di sektor ini adalah internet of things (IoT), dan blockchain,” ujarnya.

Meski demikian, hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi mengingat demografi petani di Tanah Air, yang mayoritas berusia di atas 50 tahun dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah setara SD dan SMP.

Oleh karena itu, dia menilai perlu adanya semangat dan konsistensi dari para pelaku agritech untuk mengedukasi dan memberikan pendampingan kepada para petani secara berkesinambungan guna meningkatkan kapabilitasnya.

Selain meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, mimpi besar dari pemanfaatan teknologi di bidang ini yang kemudian membuat industri agritech makin berkembang adalah agar dapat menarik lebih banyak minat generasi muda terhadap sektor pertanian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Deandra Syarizka
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper