Bisnis.com, JAKARTA -- Bung Karno pernah berkata, "Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau terjatuh, akan terjatuh di antara bintang-bintang."
Memimpikan langit dan bintang agaknya sudah lama dilakukan Melanie Camaro. Sekarang, lewat startup bernama Antarexxa, dia ingin mengolaborasikan berbagai pihak yang memiliki minat terhadap antariksa untuk memajukan industri ini di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, Antarexxa sedang menyiapkan paket perjalanan ke Rusia dan Kazakhstan, yang salah satunya mencakup menonton peluncuran roket Soyuz MS-12 ke International Space Station (ISS), pada 6-15 Maret 2019.
Para peserta akan diperkenalkan dengan sejarah industri ruang angkasa Rusia--salah satu negara pertama yang memiliki perhatian lebih terhadap bidang ini. Beberapa lokasi yang bakal dikunjungi, seperti Roscomos dan Baikonur Cosmodrome, bahkan sebenarnya hanya dapat dimasuki oleh pemerintah setempat atau untuk kepentingan riset.
"Kami ingin menyebarkan space awareness, edukasi dan meningkatkan pengertian serta wawasan ke publik di Indonesia," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29/1/2019).
Lebih jauh, Antarexxa nantinya diharapkan mampu membantu mengidentifikasi dan mengintegrasikan talenta di bidang antariksa di Indonesia untuk menginspirasi di skala global. Mereka juga ingin ikut serta membangun jejaring di antara stakeholder, termasuk komunitas, di dalam negeri dengan pihak-pihak terkait di luar negeri.
Adapun pendaftaran peserta paket perjalanan tersebut dibuka hingga 10 Februari 2019, dengan biaya mulai dari US$3.400. Lewat program ini, diharapkan orang-orang yang memang tertarik dengan antariksa bisa mendapatkan pengetahuan lebih dalam dan pengalaman langsung.
Paket perjalanan serupa juga akan dilakukan pada Juli dan September 2019.
"Acara-acara beli satelit, launching satelit, terkonsentrasi di beberapa perusahaan saja. Bahkan, mungkin karyawan perusahaan telekomunikasi yang punya satelitnya juga belum pernah lihat satelit secara langsung," ucap Melanie.
Selain itu, menurutnya, meski banyak komunitas antariksa di Indonesia, tapi cenderung terpencar-pencar. Oleh karena itu, Antarexxa ingin membantu menyatukan para stakeholder agar bisa lebih maju, termasuk dalam hal teknologi.
"Indonesia harusnya bisa kembangkan [teknologi] karena talentanya banyak dan ada," tutur Melanie.
Sayangnya, ekosistemnya dinilai masih belum mampu mendukung secara maksimal. Padahal, pengetahuan dan teknologi terkait antariksa dinilai sangat penting bagi Indonesia, misalnya penginderaan jauh untuk membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan membantu penyusunan kebijakan oleh pemerintah.
Semangat yang sama, tapi dalam skala yang lebih mikro, juga disebarkan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Komunitas ini lahir dari inisiasi Darsa Soekartadiredja, Kepala Planetarium dan Observatorium Jakarta periode 1976-2001, pada 1980-an.
HAAJ cukup aktif menggelar kegiatan, dengan diskusi rutin per dua pekan serta seminar dan workshop setidaknya setahun sekali. Ada pula kegiatan pengamatan bedah langit, yang dinamakan Star Party, sebanyak 4 kali dalam 1 tahun serta edukasi ke sekolah-sekolah di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk kegiatan-kegiatan itu, HAAJ sering bekerja sama dengan instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atau kementerian terkait, akademisi, pengelola observatorium, hingga pusat kebudayaan negara sahabat yang dikenal lebih maju di bidang ini.
"Saat ini, minat terhadap bidang antariksa makin meningkat. Terutama, setelah ada fenomena-fenomena langit yang membuat masyarakat penasaran. Misalnya, oposisi Mars dengan Bumi pada 2003, gerhana matahari cincin pada 2009, dan gerhana matahari total pada 2016," jelas Sekretaris HAAJ Ronny Syamara.
Antusiasme masyarakat dinilainya sangat besar. Bisa saja dalam satu waktu yang sama ada undangan dari beberapa sekolah kepada HAAJ untuk menyampaikan materi.
Namun, terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi tantangan tersendiri. Dia mengungkapkan SDM yang ada di seluruh Indonesia, bukan hanya HAAJ, sangat terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi besarnya antusiasme masyarakat.
Fasilitas edukasi seperti planetarium pun terbatas. Padahal, di Jepang saja ada lebih dari 300 planetarium.
Pesawat tanpa awak LSU-02 buatan Lapan di Pameran Teknologi Hakteknas ke-21 di lapangan parkir Stadion Manahan Solo, Kamis (11/8/2016)./JIBI-Nicolous Irawan
Lantaran keterbatasan waktu, fasilitas, dan Sumber Daya Manusia (SDM), HAAJ juga menyebarkan pengetahuan tentang antariksa dengan teknologi sederhana. Misalnya, menggunakan paralon yang dimodifikasi dalam pengamatan matahari.
Tantangan lainnya adalah pola pikir.
"Misalnya, orang Indonesia banyak yang berpikir harus punya teleskop dulu untuk bisa mengamati langit, punya pengetahuan IPA dulu. Padahal, yang penting adalah mulai pengamatan saja dulu. Ada banyak cara tanpa harus punya teleskop," ucap Ronny.
Pembangunan Observatorium Nasional di Nusa Tenggara Timur (NTT), lanjutnya, diharapkan bisa memupuk rasa penasaran dan perhatian yang lebih besar dari masyarakat serta pemerintah. Observatorium yang dinamakan Observatorium Nasional Timau itu digadang-gadang menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Secara keseluruhan, HAAJ mencatat ada sekitar 20-30 komunitas pecinta antariksa independen di seluruh Indonesia. Jumlahnya belum termasuk ekstrakurikuler di sekolah dan universitas.
Meski memiliki kegiatan yang berbeda, tapi Antarexxa dan HAAJ sama-sama mengusung semangat kolaborasi untuk menyebarluaskan dan merealisasikan mimpi jatuh di bintang-bintang.