Alokasi Frekuensi untuk Telko Minim, Pemerintah Diminta Ambil Langkah

Lavinda
Selasa, 18 Juli 2017 | 21:53 WIB
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengalokasian frekuensi radio untuk kebutuhan pita lebar atau broadband di Indonesia relatif lebih sedikit dibandingkan negara lain sehingga menciptakan industri telekomunikasi yang tak efisien.

Berdasarkan hasil laporan global Macquarie Bank Global Research pada Juni 2017, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) di Indonesia dan Advanc Thailand disebut-sebut paling membutuhkan spektrum frekuensi radio jika dilihat dari perbandingan jaringan terhadap jumlah pelanggan yang dimiliki.

Keduanya dianggap bisa melakukan banyak hal dengan lebih banyak spektrum. Kendati demikian, arus kas yang substansial memungkinkan keduanya untuk terus memadatkan jaringan mereka demi menyediakan kapasitas yang memadai bagi basis pelanggan mereka yang besar.

Di Asia Tenggara, tiga besar operator seluler umumnya memiliki lebih dari 100 MHz pada setiap spektrum dengan gabungan frekuensi rendah, menengah, dan tinggi. Sementara itu, negara dengan wilayah geografis yang lebih luas yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand, telekomunikasi biasanya memiliki lebih dari 100.000 subs per MHz spektrum, mengindikasikan jaringan tersebut benar-benar kewalahan.

Di sisi lain, dua operator di Filipina, yakni PLDT dan GLO memiliki kepemilikan masing-masing 200 MHz. Hal itu dianggap mampu mendorong pemakaian jaringan yang sangat efisien. Operator yang kelihatannya memiliki risiko paling besar dari sudut pandang spektrum di Asia Tenggara adalah DTAC DI Thailand.

Frekuensi Radio

Berdasarkan data Badan regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), alokasi frekuensi radio berdasarkan penggunaan oleh operator seluler antara lain, pada pita frekuensi 450MHz terdapat PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) yang memiliki lebar pita sebesar 7,5 MHz. Pita frekuensi 800 MHz digunakan oleh PT Smartfren Telecom Tbk. dengan lebar pita sebesar 11 MHz, Telkomsel dengan lebar pita 7,5 MHz, dan PT Indosat Tbk. dengan lebar pita sebesar 2,5MHz.

Pita frekuensi 900 MHz dimiliki masing-masing Indosat sebesar 10 MHz, Telkomsel sebesar 7,5 MHz, XL sebesar 7,5 MHz. Pita frekuensi 1800 MHz dengan lebar pita Telkomsel sebesar 22,5 MHz, PT XL Axiata Tbk. sebesar 22,5 MHz, Indosat sebesar 20 MHz, dan PT Huthison Tri Indonesia sebesar 10 MHz.

Pita frekuensi 2100 MHz dengan lebar pita frekuensi Indosat sebesar 10 MHz, Telkomsel sebesar 15 MHz, XL sebesar 15 MHz, dan Tri sebesar 10 MHz. Terakhir, frekuensi 2300 MHz digunakan Smart Telecom dengan lebar pita frekuensi sebesar 30 MHz.

Sementara itu, jumlah alokasi spektrum untuk operator seluler tercatat 238,5 MHz, terdiri dari Telkomsel 52,5 MHz, XL Axiata 45 MHz, Indosat 42,5 MHz, Tri 20 MHz, Smartfren dan smart Telecom 41 MHz, dan STI 7,5 MHz.

Vice President Technology and System Telkomsel Ivan Permana menilai kebutuhan para pelaku industri telekomunikasi di Indonesia akan ketersediaan frekuensi radio sangat mendesak karena tingkat kepadatan pengguna yang besar.

Oleh karena itu, dia mengimbau pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas dan cepat untuk mendorong perkembangan industri telekomunikasi, tentu demi meningkatkan efisiensi bagi masyarakat

Menanggapi hal itu, Ismail, Direktur Jenderal Sumber Daya, Perangkat Pos, dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kominfo mengakui alokasi frekuensi radio untuk broadband di Indonesia relatif minim dibandingkan negara lain.

Target Pemerintah

Pemerintah menargetkan pengalokasian frekuensi broadband sebanyak 350 MHz sampai 2019. Saat ini, sebagian sudah dipenuhi melalui migrasi sebesar 150 MHz.

Sementara itu, sisanya yakni spektrum sebesar 10 MHz pada frekuensi 2,1 GHz dan 30 MHz pada frekuensi 2,3 GHz segera dilelang pada 2017. Selain itu, akan terjadi pula migrasi frekuensi 700 MHz yang semula digunakan untuk penyiaran analog untuk kemudian diubah menjadi digital. Terakhir, pemerintah mengaku sedang bernegosiasi terkait penggunaan frekuensi 2,6 GHz untuk pemanfaatan satelit.

“Artinya band-band [pita-pita] yang disediakan itu adalah yang secara ekosistem kuat, percuma disiapkan kalau ekosistem tak siap,” tegasnya saat dihubungi Bisnis, Senin(17/7/2017).

Kesiapan ekosistem yang perlu dimaksud ialah tersedianya pasar, vendor, perangkat, dan handset.

Dia juga mengakui, akar masalah dari ketidakefisienan penggunaan frekuensi untuk jaringan broadband itu ialah jumlah operator seluler yang terlalu banyak sehingga masing-masing penyelenggara tak memiliki kue frekuensi yang besar karena terbagi-bagi.

“Oleh karena itu kita mendorong terjadinya konsolidasi,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Lavinda
Editor : Nancy Junita
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper