Bisnis.com, JAKARTA - Provinsi Jawa Tengah kian diminati oleh sejumlah investor lantaran ketersedian lahan yang mencukupi serta ditunjang dengan upah lebih murah dibandingkan dengan area Jabodetabek. Bagaimana persiapan Jateng menghadapi serbuan investor?
Berikut petikan wawancara Bisnis dengan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko.
Belakangan ini, Anda sibuk berada di Jakarta?
Saya memenuhi panggilan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menandatangi memorandum of understanding (MoU) antara Gubernur dan Kapolda di tiap-tiap provinsi berkaitan dengan izin langsung konstruksi atau dikenal Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi (KLIK).
Di tingkat pusat ada kerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Kapolri, termasuk juga MoU BKPM dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perindustrian dan sejumlah kementerian terkait.
Belum lagi ikut diskusi di pusat tentang koordinasi penanaman modal nasional, yang pada prinsipnya bicarakan kebijakan investasi. Ada Menlu, ada Menko Perekonomian. Bahasannya tentang isu investasi nasional, yang kemudian perlu disikapi bagaimana caranya implemenstasi di daerah.
Saya ikut juga rapat tentang strategi marketing investasi sehingga kita betul-betul menampung semua masukan mengenai kebijakan tentang kemaritiman, ekonomi makro, pariwisata dan seterusnya. [Intinya] bagaimana membangun struktur ekonomi yang kuat bagi suatu bangsa.
Investasi akan dikonsentrasika pada industri padat karya, mengarah di daerah kantong kemiskinan dan mengarah ke luar Jawa.
Pemerintah pusat mendorong agar perizinan investasi bisa dipercepat bahkan kalau bisa hanya tiga jam selesai. Sosialisasinya bagaimana?
Sosialisasi sudah merata, karena itu merupakan kebijakan nasional dari paket kebijakan ekonomi. Saya yakin pengusaha pasti sudah tahu, baca di media massa. Nah, tinggal bagaimana implementasinya? Yang terpenting mindset birokrasi, kesiapan organisasi, perubahan sikap butuh waktu.
Di Jawa Tengah, apa yang Anda akan lakukan menyikapi kebijakan pusat?
Kami ingin cepat bergerak. Misalnya kami melakukan pertemuan intens dengan pihak Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dalam dua bulan terakhir sudah dua sampai tiga kali [pertemuan]. Ketemu dalam rangka menggarap kesiapan organisasi atas kebijakan itu dan merubah mindset itu. Media sekarang sudah pada tahu, susahnya mengubah mindset perizinan. Yang kami persiapkan di provinsi dan daerah adalah mengenai penggunaan sistem layanan ke arah elektronik. Layanan akan dikembangkan, manual juga diperlukan.
Makanya, kita bangun Gerai Investasi atau gerai layanan izin di daerah-daerah, izin provinsi tetapi bisa digarap di daerah. Saat ini, Gerai Investasi di Jateng berada di Kabupaten Banyumas, Kota Tegal dan Anjungan TMII Jakarta. Adapun, daerah lain rencananya bakal difasilitasi untuk pembentukan gerai tersebut, seperti di Pati, Kudus, Wonogiri dan Sragen.
Keberadaannya sangat penting sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik, sehingga masyarakat lebih mudah dan cepat dalam memroses perizinan investasi pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) PTSP. Sebaran gerai bakal merata di sejumlah daerah agar investor tidak perlu jauh datang ke Semarang.
Investor bisa datang langsung dengan menyerahkan persyaratan di gerai terdekat, kemudian dihubungkan secara online ke UPT PTSP. Setelah proses selesai, dapat mengambilnya kembali di gerai tersebut.
Itu dari sisi kesiapan organisasi. Dari sisi pengaturan kami membuat SOP layanan tiga jam. Kami sudah mulai terapkan. Saya pikir kebijakan yang harus diimplementasikan, bagaimana daerah membuat percepatan regulasi.
Bagaimana cara melakukan percepatan regulasi daerah itu?
Kawan-kawan daerah sudah bergerak lebih baik, belakangan sudah banyak yang sudah masuk dalam program legislasi daerah (prolegda), dan perda perubahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).
Mindset ini saya sampaikan kepada perusahaan, entrepreneur, pengusaha, izin jangan dijadikan beban. Mengurus izin sama dengan mengajukan perlindungan. Kalau izin dimaknai seolah seolah harus berhadapan dengan penegak hukum, maka itu memandang izin menjadi beban. Harus saya ubah pola pikir seperti itu. Entah itu izin mendirikan bangunan, izin lingkungan, izin usaha, dan perizinan lainnya.
Mestinya, semua itu [perizinan] harus dimaknai sebagai hak untuk mendapatkan perlindungan, saya tanamkan betul pada pengusaha. Izin itu sebagai kebutuhan karena untuk mendapat lampu hijau dari si pemberi izin, dia [pengusaha] akan menyadari. Dan kebutuhan untuk mendapat perlindungan.
Beda kan, kalau izin dimaknai sebagai kewajiban. Jika kewajiban tidak dilaksanakan maka dia [pengusaha] merasa melanggar kewajiban, yang ada hanya takut dan salah, maka yang dilakukan mengakali melalui strategi biar lolos izin, minta koneksi politik dengan pejabat setempat dan pusat. Itu semua karena memandang izin sebagai kewajiban.
Maka dari itu, pemerintaah dalam hal ini mengajak para investor sebagai mitra. Kalau itu mitra, pemberi izin akan mencari cara agar izin itu bisa terealisasi dengan mudah. Di sisi lain, pemerintah bukan berhadapan dengan pemohon izin, tetapi sebagai mitra. Ini yang saya kembangkan, terjadi simbiosis membangun ekonomi yang lebih baik.
Dalam rangka pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan provinsi (Musrebangprov) pada April, kami akan gelar Rapat Koordinasi Perencanaan Penanaman Modal Daerah (RKPPMD) yang mengundang pebisnis, pengusaha, entrepreneur, investor, utk menyampaikan rancangan investasi. [Mau] perluasan di mana, butuh kompetisi SDM seperti apa, kapan waktunya, itu kami minta untuk memaparkan semuanya.
Dia butuh dukungan dari pemerintah apa? Apakah aspek kebijakan, atau infrastruktur atau yang lain. Mereka saya minta ngomong secara terbuka.
Pada saat RKPPMD, kami tidak akan berikan ceramah, dunia usaha malah saya ajak bicara, mau saya dengarkan. Rencana pengembangan usaha, di mana yang dia inginkan, butuh tenaga kerja berapa, modelnya seperti apa. Dia hadapi problematika apa, apakah dukungan infrastruktur, sarana jalan, air, itu saya tangkap dan rumuskan menjadi masukan bagaimana pembangunan daerah bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Apakah ini program baru?
Sebenarnya sudah ada tahun lau, tetapi modelnya berbeda. Harapannya, ini role model untuk masa depan. [Semua masukan] saya dengar langsung dari sumbernya, sehingga pembangunan kita menjadi tantangan publik. Kami mendengarkan apa yang diinginkan kalangan pengusaha menjadi sebuah terobosan tersendiri, yang intinya muaranya pada investasi.
Acara itu sekali dalam setahun, saya berharap pengusaha punya role plan yang baik, untuk rencana investasi di Jateng, baik yang sudah maupun baru. Makanya kami akan selenggarakan sebelum Musrenbangprov, sekali dalam setahun.
Secara umum, pengusaha di Jawa Tengah memandang perizinan seperti apa?
Kalau kita melihat konkretnya, persepsi pengusaha menganggap pemerintah terlalu ribet dan sulit dalam perizinan. Itu image umum, meskipun ada perusahaan yang mengerti tentang dunia usaha dan berpengalaman, maka sudah paham bahwa izin menjadi perlindungan.
Pertama kali yang dia lakukan di daerah itu adalah soal izin. Adapun, pendatang baru akan kerap berprasangka negatif bahwa izin akan dipersulit. Saya menilai, orang seperti itu maunya untung sesaat. Maka melihat izin sebagai kewajiban dan mereka anggap beban.
Nah, kita ingin entrepreneur yang akan bicara pada aspek untuk keberlanjutan sebuah usaha. Cepat tapi sustainable. Kalau pengusaha yang hanya mikirin keuntungan sesaat, pasti ada banyak masalah di belakang. Itu yang terjadi.
Jika ingin berusaha baik, harus sustainable. Ambil contoh proyek jalan tol, buat titik untuk urukan tanah, mereka harus pikirkan dari sekarang. Misal untuk revitalisasi kereta api, harus di-planning jauh hari. Banyak pengusaha kita maunya instan. Kalo izinnya mundur sehari saja, bawaannya marah-marah. Ini pengusaha ngawur, dia kaya sesaat, tapi miskin berikutnya. Saya kecewa dengan orang-orang seperti itu.
Upaya apa dari BPMD Jateng terkait dengan implementasi MEA?
Dalam konteks global, persaingan itu sesuatu yang asyik. Tanpa persaingan, orang akan puas saja. Dalam konteks persaingan global bukan ketakutan, karena ada persaingan maka ada semangat, kita bisa berbuat lebih baik dalam persaingan.
Kalau usaha yang paling bagus itu, usaha yang bersaing karena energi akan terpacu untuk melakukan yang hebat. Kita pasti siap dan harus siap, tanpa persaingan akan tertinggal jauh.
Secara geografis kita bisa pandang, kenapa masyarakat di Jawa lebih survive dari daerah lain? Karena mereka terbiasa bersaing. Di sana sejak kecil sudah lingkungan bersaing.
Coba tidak ada MEA, dan persaingan dagang di Eropa, kita pasti susah. Produk kita masuk kesana sudah dibebani pajak, kalau masuk perjanjian ekonomi, harus ikut bersaing.
Strateginya?
Yang kuasai kemampuan diri. Si individu, harus melakukan kompetensi dari sisi usaha. SDM harus kuat dan bagus, keahliannya jangan tanggung tanggung, profesional. Basisnya, ilmu ada, keterampilan oke, sikap moral baik.
[Untuk] sistem produksi gunakan resources di negeri sendiri sangat luar biasa, ada yang buatan dan natural. Kalau saya bangga dengan produk lokal, pasti dibuat atraktif, ini tantangan kita. Dari aspek permodalan, kebijakan nasional saya apresiassi, dengan bunga bank menuju single digit.
Bagaimana kita menjadi marketing yang andal, dalam kontek ini kan, di perda kita juga sudah atur, bagaimana di daerah dibuat komite. Nah, komite ini tidak usah bicara politik, tidak usah bicara macam-macam, hadirkan orang-orang marketing yang hebat yang selalu menawarkan Jawa Tengah sebagai lokasi tepat untuk tujuan investasi.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang semakin dilirik investor. Nah kesiapan di kab/kota seperti apa?
Yang terpenting adalah soal tata ruang. Tahun ini wajah tata ruang harus baru, pemahaman itu yang hitam putihnya makin jelas, peruntukannya makin tegas. Tidak multitafsir. [Intinya] bagaimana kita menata perkotaan yang baik. Kalau daerah menjadi area dengan potensi ketahanan pangan lebih baik, maka lahan pertanian dengan produktivitas tinggi harus dilindungi dan dilindungi betul jangan ada perubahan.
Kemudian kalau daerahnya menemukan lahan tidak produktif, pengairan juga tidak masuk, korbankan saja sebagai wilayah industri. Karena industri awal enggak ada masalah kontur di awal. Yang terpenting bagaimana kesiapan menuju daerah situ, infrastukturnya. Kemudian daerah yang cantik, konservasi tetapkan menjadi wilayah konservasi, tetapkan menjadi daerah wisata.
Kuncinya ada pada perda tata ruang. Kalau tata ruang ini tidak digarap dengan baik dan gagal, maka lima tahun ke depan kita akan gagal lagi. Artinya kemajuan kita begitu saja alias monoton. Untuk kemajuan ekonomi bertumbuh 5%-7% tidak mungkin. Berat.
Yang utama, yang paling penting bagaimana mengawal evaluasi tata ruang, modifikasi tata ruang makin baik. Harus dibentuk tim nasional. [Ini hal] penting.
Berikutnya, kita ke daerah melakukan penyederhanaan perizinan, sekali lagi, bukan mengesampingkan kelestarian observasi.
Makanya, setalah tata ruang, perizinan, siapkan kawasan peruntukan yang pas khusus industri. Kalau memang swasta enggak masuk, pemerintah segera membuat kawasan industri
Saya bilang kepada investor, bila Anda datang kemari, akan kami tunjukkan lahan yang memang kredibel dengan usaha Anda.
Mana saja lokasinya?
Semakin merata, Banjarnegara mulai dilirik akan ada bandara komersial. Kebumen akan berkembang yang didukung dengan bandara di Kulonprogo, Yogyakarta. Sebenarnya daerah selatan barat yang selalu iri. Tapi, sekarang sudah menjadi daerah manis, banyak orang melirik. Ada industri tekstil. Brebes oke, Pemalang oke. Kendal diincar banyak orang. Jepara, apalagi. Ada banyak industri kayu.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama SUJARWANTO DWIATMOKO
Istri MONICA RATNAWATI
Anak:
1. ARZENA NOREGA
2. BAGAS PANANDITO
3. CHRESNA AJI RAMADHAN
Pendidikan:
SMA SMA NEGERI KALASAN (IPA) 1984 Yogyakarta
S1 Fakultas Teknik Geologi UPN”Veteran” 1990 Yogyakarta
S2 Magister Administrasi Publik, UGM, 2001 Yogyakarta
S3 Program Doktor Administrasi Publik, Undip - Semarang