Bisnis.com, JAKARTA - Anjloknya harga minyak dunia tidak hanya berdampak kepada industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Penderitaan akibat murahnya harga minyak bumi juga harus dirasakan oleh penggiat industri hilir migas seperti PT Badak Natural Gas Liquefaction.
Badak NGL yang sebenarnya hanya bertugas sebagai pengolah gas bumi menjadi liquefied natural gas (LNG) harus bekerja keras menemukan gagasan agar dapat mempertahankan bisnisnya.
Meski diplot sebagai non-profit company oleh perusahaan induk, Badak harus dapat menjaga stoknya di tengah menurunnya pasokan gas dan rendahnya harga minyak dunia.
Salis S Aprilian, Presiden Direktur Badak NGL, mengakui masa depan industri LNG memang kian suram dengan terbatasnya pasokan gas. Beruntung, Badak NGL memiliki lebih dari satu pemasok gas untuk diolah menjadi LNG, tidak seperti Arun yang berakhir menjadi kilang regasifikasi.
Badak NGL telah melalui masa keemasan pada 2001 dengan mengoperasikan delapan train kilang dan mengapalkan 12 metrik ton LNG per tahun. Saat ini, anak perusahaan PT Pertamina (Persero) itu hanya mengoperasikan empat train kilang dengan target 147 kargo LNG per tahun.
Selain disebabkan habisnya cadangan gas yang dipasok oleh Total E&P Indonesie, Vico Indonesia, dan Chevron Indonesia, rendahnya harga minyak juga membuat perusahaan harus menutup satu train kilang lagi tahun ini.
Anjloknya harga minyak dunia memang membuat industri migas mengencangkan ikat pinggang agar dapat bertahan. Efisiensi dan menunda investasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi menjadi pilihan utama para perusahaan migas, tak terkecuali di dalam negeri.
Tidak ingin perusahaan yang dipimpinnya seperti Arun, Salis pun menyiapkan sejumlah skema agar Badak NGL dapat tetap bertahan.
Dirinya paham benar mengapa Arun yang semula mengolah gas menjadi LNG, harus berubah sebagai kilang yang mengolah LNG menjadi gas kembali sebelum dialirkan melalui pipa gas Arun Belawan, karena memang sempat menjadi pimpinan dalam proyek tersebut.
The Second Life of Badak NGL pun disiapkan dengan melirik potensi yang ada di Blok Masela.
Dirinya berharap pasokan gas dari Masela yang diperkirakan mengandung cadangan gas hingga 10,3 triliun kaki kubik atau trillion cubic feet (TCF). Salis mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan fasilitas yang perseroan miliki dengan menempatkan floating production storage and offloading (FPSO) dan delapan kapal compressed natural gas (CNG).
Delapan kapal CNG itu lah nanti-nya yang akan membawa gas dari Blok Masela ke kilang milik Badak NGL untuk diproses menjadi LNG. Apabila ditujukan untuk pasar domestik, gas tersebut tidak perlu diubah menjadi LNG, karena dapat menambah biaya untuk meregasifikasikannya kembali.
“Kalau memang untuk diekspor, silakan gunakan kilang kami untuk diolah menjadi LNG, tetapi kalau hanya untuk domestik ya tidak usah dijadikan LNG karena ada biaya untuk mengolahnya dan meregasifikasinya kembali,” katanya kepada Bisnis.com di Jakarta.
Delapan kapal CNG tersebut dii-baratkan sebagai virtual pipeline yang dapat membawa gas ke berbagai tujuan. Investasi dan waktu yang diperlukan untuk menerapkan skema tersebut pun jauh lebih murah dan cepat. ()