Bisnis.com, JAKARTA--Industri telekomunikasi sempat dikabarkan memasuki masa saturated atau masa jenuh. Pasalnya, pengguna operator dan telepon seluler yang saat ini sudah melebihi jumlah penduduk di Indonesia tidak akan bertambah secara signifikan lagi.
Melihat kejenuhan pasar ini membuat para operator memutar otak untuk memberikan tawaran dan layanan yang membuat pelanggannya tidak bosan dan lari. Para operator pun mulai melakukan strategi baru seperti menggandeng perbankan untuk mengadakan mobilepayment hingga menyediakan konten-konten yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Dirasa belum cukup, para operator pun tengah mempersiapkan jaringan internet generasi keempat yakni 4G Long Term Evolution (LTE).
Jaringan ini nantinya diharapkan dapat menambah dan mengubah experience pelanggan terhadap koneksi internet. Walaupun belum 100% rampung, para operator pekan telah meresmikan layanan 4G LTE ini serempak di beberapa wilayah di Indonesia. Puncaknya, jika sesuai dengan jadwal, akhir tahun ini seluruh wilayah Indonesia sudah bisa mengakses 4G di di seluruh wilayah yang terpapar jaringan 4G.
Namun, di tengah hiruk-pikuk keramaian persiapan 4G, kembali mencuat isu lain di tengah operator yakni terkait tarif interkoneksi. Tarif interkoneksi merupakan tarif antar-operator ketika melakukan panggilan telepon yang mengacu kepada hasil perhitungan biaya interkoneksi pemerintah, termasuk keuntungan bagi operator.
Tarif interkoneksi ini muncul karena setiap pelanggan operator biasanya melakukan komunikasi dengan pelanggan operator lainnya di jaringan operator yang berbeda (off net). Aktvitas ini diartikan pelanggan selain menggunakan operator asal juga akan menggunakan jaringan operator awal agar tersambung dengan pelanggan operator tujuan.
Tarif tersebut yang oleh beberapa pihak termasuk beberapa operator diharapkan dapat turun. CEO PT Indosat Tbk Alexander Rusli mengemukakan pihaknya menginginkan tarif interkoneksi tersebut turun walaupun dengan risiko revenue perusahaannya akan terpengaruh.
“Kami inginnya tarif tersebut turun, tapi memang jangka pendeknya akan berpengaruh terhadap pendapat, tetapi setelah itu turun, efek on net akan berkurang,” ujarnya di Jakarta, belum lama ini.
Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi BRTI I Ketut Prihadai Kresna mengemukakan hingga saat ini masih ada operator yang membebankan terlalu tinggi untuk biaya off net. “Misalnya biaya interkoneksinya adalah Rp2.000 per menit, sedangkan biaya percakapanoff net interkoneksinya bisa mencapai Rp8.000 per menit,” paparnya.
Alex mengemukakan tarif off net yang beberapa kali lipat itu datang dari tarif interkoneksi, sehingga jika tarif interkoneksi rendah maka biaya off net pun akan menyusut. Namun, sayangnya hingga saat ini para operator selular ini masih belum satu suara.
Alex yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengungkapkan anggotanya belum mencapai satu suara dan masih terbelah menyikapi penyempurnaan biaya interkoneksi yang dilakukan oleh regulator.
Di tengah perbedaan suara para operator, regulator tetap akan menggodok formula baru perhitungan tarif interkoneksi tersebut. Pasalnya, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara penetapan tarif interkoneksi terakhir dilakukan 10 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut, kondisi industri telekomunikasi telah banyak mengalami perubahan.
“Jangka waktu 10 tahun banyak kondisi yang telah berubah, dibutuhkan regulasi yang dapat merefleksikan kondisi saat ini hingga jangkat waktu ke depannya,” ujar Rudiantara.
Rudiantara mengemukakan banyak tahap yang harus dilakukan sebelum penetapan tarif interkoneksi yang baru. Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Utama PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) mengemukakan pihaknya tidak menolak penurunan tarif interkoneksi sepanjang pemerintah menjamin azaz keadilan dalam proses kalkulasi biaya.
Ririek mencontohkan prinsip keadilan tersebut bisa dipenuhi bila pemerintah menghitung tarif interkoneksi berdasarkan infrastruktur jaringan. Bila metode tersebut dijalankan, dia memprediksi mustahil seluruh operator bisa mengenakan tarif interkoneksi yang seragam.
“Kalau ada satu operator yang hanya bangun infrastruktur di satu kota dan ada satu operator lagi bangun di seluruh Indonesia masa tarifnya disamakan? Itu kan tidak adil,” kata mantan Direktur Jasa Internasional Telkom ini.
Pada akhirnya, para operator ini mau tidak mau harus menunggu perhitungan yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Jika berjalan sesuai jadwal, maka draf PM tersebut diharapkan rampung pada bulan Juli, dan bisa ditandatangani pada Agustus nanti. Sedangkan implementasinya akan dimulai pada awal tahun 2016.
“Yang jelas, draf PM itu diharapkan rampung pada Agustus untuk ditandatangani oleh menteri,” tutup Prihadi.