Bisnis.com, JAKARTA - Pesawat penumpang Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan KLM 867 rute Amsterdam-Tokyo jatuh pada 15 Desember 1989, sehari setelah Gunung Rodoubt di Alaska meletus yang menyisakan kabut debu vulkanik.
Berdasarkan hasil penyelidikan, berikut rekaman percakapan antara menara kontrol Anchorage dan pilot pesawat itu saat pesawat terbang dalam ketinggian sekitar 25.000 kaki dari permukaan laut di atas Alaska:
Pilot: "KLM 867 heavy is reaching level 250 heading 140"
Anchorage Center: "Okay, Do you have good sight on the ash plume at this time?"
Pilot: "Yea, it’s just cloudy it could be ashes. It’s just a little browner than the normal cloud."
Pilot: "We have to go left now... it's smoky in the cockpit at the moment, sir."
Anchorage Center: "KLM 867 heavy, roger, left at your discretion."
Pilot: "Climbing to level 390, we’re in a black cloud, heading 130."
Pilot: "KLM 867 we have flame out all engines and we are descending now!"
Anchorage Center: "KLM 867 heavy, Anchorage?"
Pilot: "KLM 867 heavy, we are descending now... we are in a fall!"
Pilot: "KLM 867, we need all the assistance you have, sir. Give us radar vectors please!"
Walhasil setelah komunikasi itu selesai --seturut hasil penyelidikan Komite Perdagangan Amerika Serikat-- keempat mesinnya mati dan sistem kelistrikan cadangan gagal bekerja. Laporan menyatakan, Boeing 747-400 yang baru enam bulan usia terbangnya itu masuk ke dalam "awan" debu, yang melapisi seluruh mesinnya dengan partikel debu sangat halus.
Lapisan debu ini juga mengacaukan sensor temperatur sehingga sistem mati-otomatis keempat mesinnya menjadi aktif.
Jika ini yang terjadi, sesuai protokol sistem tenaga mesin, jeda sementara mesin terjadi saat instrumen penerbangan mengubah status mesin menjadi siaga. Di dalam sistem Boeing 747-400, kondisi ini ditenagai dua inverter catu daya listrik. Dalam petikan laporan itu, kapten pilot menempuh prosedur menyalakan kembali mesin, yang sayangnya gagal hingga dua kali dicoba.
Peristiwa di Tanah Air yang serupa juga pernah terjadi, pada 24 Juni 1982, saat pesawat terbang British Airways penerbangan 9 dengan nama panggilan Speedbird terbang di dekat udara Jakarta. Saat itu, Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, meletus dengan debu beterbangan hingga ke negara tetangga.
Lokasi Gunung Galunggung sejauh 180 kilometer tenggara Jakarta, saat-saat itu diselimuti debu halus putih dari perut bumi itu. City of Edinburgh (nama pesawat terbang itu) mengarungi udara Pulau Jawa dalam penerbangannya dari London Heathrow menuju Auckland, Selandia Baru.
Menurut jadual, Boeing 747-236B itu harus mendarat di Bombay, Madras, Kuala Lumpur, Perth, dan Melbourne.
Tanpa disadari kapten pilot dan copilot, City of Edinburgh ternyata masuk ke dalam kumpulan besar debu vulkanik Gunung Galunggung itu. Tiba-tiba mesin mati dan pesawat terbang melayang seperti pesawat terbang layang selama beberapa saat sebelum akhirnya keempat mesinnya bisa dinyalakan kembali. City of Edinburgh akhirnya bisa mendarat selamat di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma Jakarta.
Yang bisa dicatat dari penyelidikan seksama insiden City of Edinburgh itu, Senior First Officer Roger Greaves dan Senior Engineer Officer Barry Townley-Freeman melihat kilatan api Saint Elmo di kaca depan kokpit.
Pada saat itu, kapten pilot Eric Moody sedang ke toilet dan fenomena alam api itu masih terus berlanjut bahkan saat Moody sudah ada di kursinya dan mengemudikan pesawat terbang berbodi lebar itu.
Yang menarik juga, "asap" berbau belerang menyengat menyelimuti seluruh kabin dan kokpit; yang semula diduga adalah asap dari rokok. Pada masa itu, aturan baku larangan merokok belum berlaku secara umum di semua penerbangan dan kelas-kelasnya.
Penumpang yang duduk di sisi jendela juga melaporkan cowling (penutup) keempat mesin tiba-tiba bercahaya benderang, dengan kilatan cahaya berefek stroboskopik memancar dari sela-sela putaran cepat bilah-bilah mesin jet itu.
Salah satu reaksi cepat kapten pilot dan copilot-nya adalah mengaktifkan sistem pemadam kebakaran, menghentikan aliran bahan bakar ke mesin, hingga akhirnya mesin seolah mengeluarkan suara ledakan dan mati total keempat-empatnya.
Dari ketinggian 37.000 kaki dari permukaan laut, City of Edinburgh melayang dengan rasio jangkauan 15 kilometer tiap satu kilometer kehilangan ketinggian. Kapten pilot memutuskan segera membuka frekuensi radio SOS dan melayang sejauh 96 mil laut (169 kilometer) selama 23 menit sampai ke landas pacu Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Semua penumpang dan awak pesawatnya selamat.
Mengapa radar cuaca pesawat terbang tidak bisa memberi indikasi ada cakupan luas "awan" debu vulkanik di jalur penerbangannya?
City of Edinburgh pada penerbangan pukul 20.42 WIB itu juga merekam kenyataan seperti itu. Hasil penyelidikan menyeluruh menyatakan, satu aspek penting penyebab karena debu itu bersifat kering sementara radar hanya mampu membaca partikel-partikel awan yang mengandung uap air.
Inilah yang menyebabkan pula kapten pilot, copilot, dan dua petugas pendukung tidak mampu menyadari dan membedakan, apakah "asap" itu berasal dari kebakaran atau bukan; mengingat aroma yang tercium hidung adalah aroma belerang, khas sisa oksidasi suatu substansi. Akibatnya, pilot mengambil prosedur pemadaman kebakaran, apalagi dia melihat ada kilatan api di mesin; berujung pada penghentian aliran bahan bakar.
Ukuran partikel debu vulkanik sangat halus, lebih halus daripada ukuran tepung terigu, sehingga dia sangat ringan dan bisa melayang-layang di udara sampai waktu cukup lama. Ini yang menjelaskan mengapa debu Gunung Krakatau saat meletus pada 1883 bisa mencapai udara Eropa berbulan-bulan kemudian.
Jika dilihat memakai mikroskop, debu vulkanik bermaterial pokok silika, memiliki permukaan bersudut tajam dengan tingkat kekerasan cuma beberapa tingkat di bawah kekerasan intan. Dalam jumlah kecil, gesekan antara partikel debu dengan logam material penyusun mesin akan sangat abrasif, menyebabkan permukaan bidang-bidang mesin yang bergesekan akan tidak simetris lagi.
Menurut laporan penyelidikan City of Edinburgh itu, setelah debu-debu vulkanik itu masuk ke dalam ruang bilah-bilah jet, mereka akan masuk lebih jauh ke dalam ruang pembakaran bercampur dengan oksigen dan bahan bakar.
Mereka kemudian meleleh dan semakin masuk lagi ke dalam sistem pembakaran dan pembangkitan tenaga di dalam ruang bertekanan dan bertemperatur ekstra tinggi itu.
Jika ketinggian terbang masih lebih dari cukup, maka mematikan mesin bisa mendinginkan mesin sehingga uap campuran debu-oksigen-bahan bakar itu bisa "didorong" keluar dari seluruh sistem mesin. Jika tidak, maka bisa berakhir dengan bencana paling buruk yang bisa dibayangkan, dan City of Edinburgh tidak masuk dalam kategori ini.
Lebih lanjut lagi, partikel debu yang tercampur dan meleleh ini bisa berubah menjadi "lapisan keramik abrasif" yang mengubah performansi aerodinamika bilah-bilah jet atau bilah baling-baling, atau lebih parah merontokkan mereka dipicu efek momentum gaya yang bekerja pada kecepatan putaran mesin ekstra tinggi. Mesin bisa meledak di udara.
Pada 1991, industri penerbangan dunia membentuk Pusat Saran Debu Vulkanis (VAAC), yang melibatkan ahli penerbangan, meteorologi, ahli vulkanologi, dan beberapa disiplin ilmu lain. Hingga 2010, pabrik mesin pesawat terbang belum menentukan batas tingkatan pasti kandungan partikel debu yang bisa membahayakan mesin.
Pendekatan saat itu masih pada aturan dari regulator dalam menentukan apakah wilayah dan ruang udara itu aman atau berbahaya untuk diarungi, alias ditutup untuk penerbangan.
Barulah pada April 2010, badan sejenis di Inggris menetapkan kandungan debu vulkanik yang masih aman untuk penerbangan pesawat terbang bermesin jet dan propeler, yaitu dua miligram permeter kubik ruang udara. Angka ini meningkat menjadi empat miligram permeter kubik ruang udara pada Mei 2010.
Sejauh ini, publik belum mengetahui apakah aturan serupa itu belum diketahui berlaku untuk Indonesia. Kini, Gunung Kelud meletus dengan sebaran debu vulkanis cukup luas.
Paling tidak lima bandar udara di Pulau Jawa dihentikan sementara operasionalisasinya, yaitu Bandar Udara Internasional Juanda (Surabaya, Jawa Timur), Bandar Udara Internasional Adi Sucipto (Yogyakarta), Bandar Udara Adi Sumarmo (Solo, Jawa Tengah), Bandar Udara Ahmad Yani (Semarang, Jawa Tengah), dan Bandar Udara Abdulrahman Saleh (Malang, Jawa Timur).
Banyak maskapai penerbangan menghentikan sementara operasionalisasinya dari dan menuju kota-kota itu, paling tidak untuk beberapa hari ke depan. Keselamatan dan keamanan penerbangan menjadi prioritas puncak mereka.