Bisnis.com, JAKARTA — PT Mora Telematika Indonesia atau Moratelindo (MORA) menilai dibutuhkan dasar hukum yang jelas, yang memperbolehkan Amerika Serikat (AS) mengelola data pribadi masyarakat Indonesia.
Chief Strategic Business Officer Moratelindo Resi Y Bramani mengatakan perusahaan menghormati setiap kebijakan dan kerja sama internasional yang diambil oleh pemerintah, serta memahami bahwa keputusan tersebut memiliki pertimbangan strategis tersendiri.
Namun, lanjutnya, Moratelindo berharap ada dasar hukum yang jelas, yang memperbolehkan AS mengelola data pribadi Indonesia.
Menurutnya dasar hukum yang jelas bertujuan agar agar tidak timbul konflik antara UU Pelindungan Data Pribadi (PDP), serta UU lain yang mengatur informasi Data Pribadi dan perjanjian antar negara.
“Kejelasan dasar ini penting untuk memastikan bahwa industri data center lokal tetap memiliki ruang yang sehat untuk tumbuh dan bersaing secara adil, dan yang pastinya tetap menjunjung tinggi kedaulatan/ kepentingan Indonesia,” kata Resi kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).
Mengenai dampak regulasi dengan potensi kehilangan pelanggan dan pendapatan, kata Resi, risiko tersebut bisa saja terjadi mengingat pergeseran komposisi pelanggan dan arah industri adalah hal yang wajar.
Sebagian pelanggan mungkin akan migrasi ke perusahaan data center global. Namun, perusahaan data center dapat melihat peluang pertumbuhan di sektor-sektor yang memerlukan kepatuhan hukum nasional dan kendali data, seperti keuangan, pemerintahan, dan kesehatan.
“Kami berharap kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah, tetap bisa memberikan ruang tumbuh yang adil, tetap dapat berdaya saing, perlakuan yang sama terhadap pelaku usaha dalam negeri dan tetap menjaga kepercayaan terhadap ekosistem digital nasional,” kata Resi.
Sebelumnya, kebebasan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam mengelola data pribadi masyarakat Indonesia - sesuai kesepakatan yang terjalin - dinilai akan berdampak pada industri pusat data atau data center dalam negeri.
Pemerintah diminta memperjelas makna pengelolaan data pribadi oleh AS.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengatakan kebijakan pengelolaan data di AS tidak hanya berdampak pada pelindungan data pribadi, juga dapat merugikan industri data center dalam negeri, terutama dari sisi kepercayaan dan keberlanjutan bisnis.
Jika pengelolaan dan pemindahan data ke luar negeri dibiarkan tanpa pembatasan, bahkan dengan jaminan keamanan tertentu, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan pengguna lokal maupun asing pada layanan data center Indonesia.
Pengguna internasional yang saat ini menggunakan data center di Indonesia sebagai mirror atau backup juga bisa ikut memindahkan layanannya ke negara lain, sehingga mengancam kelangsungan bisnis data center nasional.
“Hal pengalihan data secara bebas perlu perhatian lebih jauh. Industri data center di Indonesia dapat bermasalah,” kata Ian.
Ian menuturkan pemahaman tentang definisi “bebas dipindahkan” sangat penting untuk menakar dampak dan risiko, sebab praktik disaster recovery dan keberlanjutan bisnis banyak mengandalkan data center lokal yang secara fisik dipisahkan serta diakses khusus oleh penyewa.