Gibran, Eks CEO eFishery Bersuara Soal Tuduhan Manipulasi Laporan Keuangan

Aprianto Cahyo Nugroho
Rabu, 16 April 2025 | 18:01 WIB
CEO eFishery Gibran Huzaifah berada di depan kolam milik pembudidaya ikan/Dok. istimewa
CEO eFishery Gibran Huzaifah berada di depan kolam milik pembudidaya ikan/Dok. istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Mantan CEO eFishery Gibran Huzaifah mengungkapkan awal mula dirinya memalsukan laporan keuangan startup agritech tersebut hingga akhirnya semua terbongkar.

Dalam wawancara dengan Bloomberg News, Gibran mengakui aksinya tersebut dimulai pada 2018. Saat itu, startup yang ia dirikan dari prototipe alat pemberi makan ikan hingga menjadi perusahaan rintisan dengan 100 pegawai kesulitan pendanaan dan hanya menyisakan tiga bulan sebelum cadangan mereka benar-benar habis.

Dia kemudian mulai memasukkan angka fiktif ke laporan keuangan kemudian mengirimnya ke investor. Para investor terkesan dengan perkembangan bisnisnya. Mereka menambah suntikan modal, tanpa sadar bahwa angka-angka tersebut palsu.

Pada akhir 2018, Gibran mulai mengembangkan fondasi manipulasi tersebut, yang kelak ambruk dan akhirnya merugikan investor kelas dunia hingga ratusan juta dolar.

“Ketika Anda bercermin dan menyadari kesalahan, Anda tahu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya melakukannya untuk bertahan hidup,” ujar Gibran seperti dilansir Bloomberg, Rabu (16/4/2025).

Awal Mula Segalanya

Cerita Gibran dalam dunia startup bermula ketika dia mengikuti berbagai kompetisi startup di Jakarta pada 2012. Dari sini dia belajar cepat mengenai membuat presentasi bisnis, menyusun strategi, dan menyelaraskan visi dengan angka yang menarik bagi investor.

Sebuah video YouTube dari Oktober 2013 memperlihatkan Gibran muda mempresentasikan gagasan andalannya: proses pemberian makan adalah biaya terbesar dalam akuakultur, dan alatnya bisa membuatnya jauh lebih efisien.

Pada 2015, Aqua-Spark, investor asal Belanda yang fokus pada akuakultur berkelanjutan, setuju mengucurkan dana awal sebesar $750.000.

Tantangan utama eFishery saat itu adalah harga alatnya yang tinggi dibanding margin tipis para petani ikan kecil. Harga satu unit bisa berkisar antara US$400 sampai US$600, tergantung ukuran dan diskon.

Jumlah yang tak terjangkau bagi banyak petani di Indonesia, di mana sekitar 10% dari 280 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan biaya tenaga kerja murah.

Gibran lalu mengubah model bisnis. Dia menyewakan alat kepada petani dan berharap cara ini bisa memperluas pasar lebih cepat dan menutup biaya produksi dalam beberapa tahun. Tapi karena harus menanggung biaya produksi di awal, ia cepat kehabisan dana.

Ia berusaha menarik perhatian investor ventura di kawasan Asia Tenggara, namun ditolak berulang kali. Pada Desember 2017, laporan keuangan di Singapura mencatat eFishery hanya memiliki kas US$8.142.

Namun Aqua-Spark masih tertarik. Pada Mei 2018, mereka sepakat ikut pendanaan Seri A senilai US$1,5 juta, dibagi dalam tiga tahap. Tahap terakhir sebesar US$500.000 baru akan diberikan jika ada investor lain yang ikut.

Amy Novogratz yang merupakan salah satu pendiri Aqua-Spark membantah ada tanggungan pribadi dalam perjanjian.

Nyaris putus asa, kemudian ia bertanya ke pendiri startup lain. Jawabannya hanya kode “dipoles,” “growth hack.” Bagi Gibran, maknanya jelas. Manipulasi angka sudah jadi rahasia umum.

“Saya tahu itu salah. Tapi ketika semua melakukannya dan tak satu pun terkena, kamu mulai bertanya: apakah ini benar-benar salah?,” ungkapnya kepada Bloomberg.

Ia menilai dilema ini layaknya teka-teki moral: jujur tapi gagal, atau berbohong demi kelangsungan hidup banyak pihak.

“Kompas moral saya cenderung rasional — selama manfaat sosial yang dihasilkan lebih besar dari risikonya, saya anggap itu masih positif.”

Pergantian arah sentimen investor terjadi cepat usai Gibran mengirimkan pembaruan laporan keuangan. Putaran pendanaan Seri A sukses menarik perhatian Wavemaker Partners dari Singapura dan 500 Global dari San Francisco. Total dana yang dihimpun mencapai US$4 juta, termasuk kontribusi lanjutan dari Aqua-Spark.

Untuk menopang angka yang ia sajikan dalam spreadsheet, Gibran merancang sistem pertama yang tampak sederhana namun penuh tipu daya.

Petambak yang memang sudah rutin membeli pakan dan menjual ikan diajak “mengalihkan” aktivitas mereka ke platform eFishery, dengan imbalan komisi 2–3%. Meski kenyataan di lapangan tak berubah, pencatatan keuangan perusahaan memperlihatkan lonjakan signifikan.

“Ini hanya penyesuaian 20–30%. Tapi cukup untuk menunjukkan tren pertumbuhan—permulaan dari kurva hockey stick,” kata Gibran.

Langkah yang lebih berisiko adalah program pembiayaan Kabayan, yang diklaim menggunakan data budidaya eFishery untuk menilai kelayakan kredit petani. Nyatanya, perusahaan menanggung langsung risiko kredit—dan tingkat gagal bayar sangat tinggi.

Di atas kertas, eFishery tampak bersinar. Pendapatan melonjak 50 kali lipat dari US$185.405 pada 2018 menjadi US$10 juta pada 2019. Laba kotor tercatat positif, membuka jalan bagi ekspansi besar: aplikasi beli ikan langsung dari petambak, hingga titik distribusi pakan di pulau-pulau terpencil.

Dampak riil tetap terasa. Suganda, petambak di Cirebon, adalah pengguna awal mesin eFeeder. Teknologi ini tak hanya memberi efisiensi, tapi juga membebaskannya dari rutinitas—memberinya kehidupan sosial. Ia dan kelompok petambaknya mendapat akses pinjaman hingga US$150.000, menambah kolam dari 10 menjadi 70 unit, dan meningkatkan penghasilan hingga 20%.

eFishery menjadi startup yang menjawab momentum. Ketika tren investasi bergeser ke arah ESG dan dampak sosial, dana-dana besar membanjiri sektor ini. Pada 2020, dana berkelanjutan global naik 67% ke hampir US$1,7 triliun. Dengan narasi dari nol hingga sukses dan laporan keuangan yang "menggoda", eFishery mencuri perhatian.

Gibran kemudian meraih pendanaan Seri B sebesar US$20 juta dari Northstar Group dan Go-Ventures (kini Argor Capital). Lalu pada 2021, Gibran menerima kabar bahwa Masayoshi Son dari SoftBank ingin berbicara langsung. Dalam satu jam di tengah pandemi, kesepakatan hampir tercapai. SoftBank mengajukan valuasi US$200 juta.

Tak lama, Sequoia India (Peak XV) dan Temasek ikut berlomba. Valuasi pun melonjak ke $300 juta lebih. Gibran bahkan menerima pesan WhatsApp langsung dari CEO Temasek, Dilhan Pillay—yang semula ia kira spam.

Namun di tengah kegembiraan itu, Gibran dihantui kenyataan. Laporan kepada investor menyebut pendapatan Rp1,6 triliun dan laba sebelum pajak Rp142 miliar, padahal kenyataannya, pendapatan hanya Rp958 miliar dan kerugian sebelum pajak mencapai Rp164 miliar.

Ia merasa bersalah, namun kembali teringat pada dilema etis ala "trolley problem". Ia percaya eFishery memberi dampak. Tapi tekanan untuk terus tumbuh membuatnya menunda memperbaiki pembukuan.

Akhirnya, SoftBank, Temasek, dan Sequoia India menyepakati investasi sebesar US$90 juta, mengerek valuasi eFishery ke US$410 juta—lompatan luar biasa dari valuasi US$12 juta hanya tiga tahun sebelumnya.

Halaman:
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper