Bisnis.com, JAKARTA — Wacana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menurunkan biaya frekuensi di operator seluler dinilai merupakan langkah yang tepat untuk memperbaiki industri telekomunikasi.
Pakar Telekomunikasi sekaligus Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB) Agung Harsoyo menjelaskan bahwa pada prinsip dasarnya, pemanfaatan pita frekuensi mempertimbangkan tiga kepentingan sekaligus, yakni industri telko, pelanggan/masyarakat, dan pemerintah melalui Komdigi.
Di sisi lain, dia menyebut bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) pita frekuensi memang menguntungkan pemerintah.
Namun, jika dilihat dari sisi telko, hal ini merupakan bagian dari peraturan biaya (regulatory cost) yang akan mempengaruhi harga layanan yang mesti dibayar oleh pelanggan.
Sementara itu, Agung menyebut praktik yang ada di negara-negara maju, regulatory cost berada pada kisaran atau kurang lebih 9% dari seluruh biaya operator telko.
“Regulatory cost di Indonesia lebih dari itu. Jadi, tepat jika biaya pita frekuensi diturunkan. Hal ini menjadi insentif bagi industri telko,” kata Agung kepada Bisnis, Senin (14/4/2025).
Namun, Agung memandang kompensasi dari penurunan biaya pita frekuensi adalah komitmen pembangunan dari operator telko mesti dipenuhi. Salah satunya dengan memperluas coverage dan meningkatkan kualitas layanan (QoS/QoE).
Kendati demikian, menurutnya, besarnya penerimaan PNBP bukankah tujuan utama pemerintah dan PNBP merupakan instrumen kendali pertumbuhan industri telko.
Di sisi lain, lanjut dia, dalam 1–3 tahun ke depan akan ada lelang beberapa pita frekuensi yang akan menambah PNBP.
Menurutnya, pemerintah dan DPR dapat dibantu oleh konsultan untuk menghitung PNBP dari pita frekuensi ini, sehingga industri telko dapat berkembang dari kondisi saat ini yang berat, layanan merata di seluruh Indonesia, kualitas layanan (QoS/QoE) meningkat, dan harga layanan terjangkau.
“Bagi Industri telko bukan nilai mutlaknya, tapi lebih pada proporsinya. Jika di negara-negara maju regulatory cost [BHP pita frekuensi merupakan salah satu komponen] di kisaran 9%,” ujarnya.
Agung menuturkan bahwa saat ini biaya frekuensi di Indonesia berada di atas 18%. Untuk itu, menurutnya, Indonesia membutuhkan biaya di kisaran 12–13% untuk membiayai pembangunan.
Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menyebut penurunan biaya frekuensi merupakan langkah yang sangat tepat untuk industri telekomunikasi, pemerintah, dan masyarakat.
“Karena saat ini para operator seluler sedang dalam kondisi yang kurang baik dan juga memang regulatory cost kita relatif tinggi, di atas batas ideal,” ujar Ian kepada Bisnis.
Di sisi lain, sektor telekomunikasi memiliki target yang cukup tinggi pada 2030, seperti kecepatan unduh (download speed) 100 Mbps dengan jangkauan (coverage) 98%.
“Jadi memang seharusnya pemerintah memainkan perannya untuk membantu industri di sisi regulatory cost, sekaligus mendorong industri mencapai target, yang pada akhirnya masyarakat juga yang merasakan manfaatnya,” ungkapnya.
Meski begitu, menurut Ian, penurunan biaya frekuensi belum tentu menurunkan PNBP, sebab PNBP akan tetap muncul dari lelang frekuensi baru. Alhasil, jika BHP frekuensi diturunkan, akan terimbangi juga oleh pendapatan dari lelang frekuensi baru.
“Idealnya, PNBP dapat dijaga di level yang stabil atau setidaknya rasio biaya spektrum terhadap pendapatan [spectrum cost to revenue] dijaga pada level yang ideal,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyebut adanya peluang untuk mengkaji ulang biaya frekuensi. Bahkan, dirinya mengaku telah mendapatkan masukan termasuk dari World Bank, untuk saatnya Indonesia menurunkan biaya frekuensi.
“Kami sudah dapat banyak masukan termasuk World Bank dan lain-lain, bahwa sudah saatnya Indonesia menurunkan. Namun ini kan akan berdampak Kepada PNBP, jadi kami harus berbicara juga dengan beberapa pihak,” kata Meutya dalam sesi wawancara dengan Bisnis, dikutip pada Senin (14/4/2025).
Namun, lanjut Meutya, Komdigi sejatinya juga memahami pada dasarnya biaya frekuensi ini memang harus diturunkan. Kendati demikian, pihaknya tetap harus berdiskusi dan melakukan pengkajian dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terhadap penurunan biaya frekuensi.
Terlebih, Meutya menambahkan bahwa dirinya hanya akan melakukan penurunan biaya frekuensi jika memang ada kajian yang mengatakan penurunan frekuensi tidak berdampak kepada penurunan PNBP.
“Artinya kalau kita turunkan [biaya frekuensi], industrinya tambah sehat bisa jadi naik PNBP-nya dan itu kemarin sudah ada dari beberapa yang menunjukkan bahwa ini bukan otomatis berarti penurunan secara total karena ada kemungkinan ketika mereka sehat, ini [PNBP] justru penerimaannya akan naik,” pungkasnya.