Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan keterbatasan sumber daya manusia dan pemerataan infrastruktur digital menjadi sejumlah hambatan implementasi kecerdasan buatan (AI) di perindustrian Tanah Air.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengatakan adopsi kecerdasan buatan di Tanah Air masih relatif lambat. Dia menduga hal tersebut disebabkan oleh karakteristik generatif AI yang merupakan teknologi baru.
Masyarakat masih ragu untuk mengadopsi teknologi tersebut. Di sisi lain, mereka juga belum tertarik untuk menekuni bidang ini sehingga SDM mumpuni yang dapat mengoperasikan AI terbatas. Kondisi ini memperlambat penetrasi AI.
“Kurangnya kesadaran, SDM, dan kepercayaan terutama dari pelanggan dan lemahnya dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah serta dengan keterbatasan yang ada belum bisa menjadikan regulasi sebagai daya dukung optimal,” kata Faisol Rabu (4/12/2024).
Faisol menambahkan dalam mengatasi sejumlah permasalah tersebut pemerintah dan segenap pemangku kepentingan berjibaku dalam mendorong pemerataan internet hingga penciptaan sumber daya manusia berkualitas.
Riza mengatakan meski menemui banyak hambatan, teknologi kecerdasan buatan membawa peluang baru bagi industri di Tanah Air, seiring dengan operasional industri yang makin baik.
AI, lanjutnya, membawa perubahan dan transformasi bagi perindustrian Indonesia dari berbagai sisi termasuk rantai pasok.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan Indonesia bersemangat dalam menyambut kecerdasan buatan. Pemerintah menyiapkan infrastruktur dan tata kelola agar AI memberi manfaat nyata bagi Indonesia.
Komdigi juga menyusun regulasi yang fleksibel dan tidak membatas inovasi.
"Kami berharap prioritas swasembada pangan bisa dibantu oleh AI, termasuk perikanan, platform AI sudah tinggal dikembangkan lagi," kata Meutya.
Diketahui, Pasar kecerdasan buatan (AI) di Tanah Air diperkirakan menembus US$2,4 miliar pada 2024 dan melesat menjadi US$10,8 miliar atau Rp163,83 triliun pada 2030, dengan rerata pertumbuhan per tahun (CAGR) mencapai 24%.
Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (Asioti) Teguh Prasetya mengatakan menurut data Statista pertumbuhan tersebut ditopang oleh solusi machine learning sebagai kontributor terbesar, diikuti dengan natural language processing dan autonomous & sensor Tech serta Computer Vision.
Tidak hanya itu, Teguh juga mengatakan, AI akan mendongkrak GDP negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, sebesar 5,6% - 10,4% pada periode 2017 -2030.
“Pertumbuhan seiring dengan peningkatan produktivitas, personalisasi, penghematan waktu, hingga peningkatan kualitas,” kata Teguh.
Dari sisi industri, kata Teguh, yang paling adaptif dengan solusi AI adalah industri perbankan, pemerintahan, manufaktur dan ritel. Solusi AI dimanfaatkan oleh sektor-sektor tersebut untuk menganalisis fraud hingga menghadirkan rekomendasi produk yang relevan dengan pelanggan.
“Keamanan publik dan agen layanan virtual (conversation AI) juga menjadi solusi yang banyak digunakan di industri,” kata Teguh.
Teguh memperingatkan meski demikian, implementasi AI di Indonesia memiliki beberapa tantangan. Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu mengatur pelindungan data pribadi dan standar struktur & penggunaan bersama data AI.