Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan iklim bisa membuat gletser mencair, air tersebut meresap ke dalam tanah, menyebabkan retakan, menekan kerak bumi dan meningkatkan aktivitas gunung berapi.
Ketika gletser mencair, air dapat meresap ke dalam retakan di kerak bumi sehingga menyebabkan retakan melebar dan melemah. Perubahan iklim juga dapat menyebabkan lebih banyak letusan gunung berapi dengan meningkatkan jumlah magma di mantel bumi.
Namun yang perlu diketahui, kondisi perubahan iklim, gempa bumi, dan letusan gunung berapi, juga berdampak pada Indonesia. Sebab, Indonesia terletak antara tiga pertemuan lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Dilansir dari situs, World Economic Forum (11/7/2024), perubahan iklim saat ini, dapat memicu terjadinya gempa bumi, terutama di wilayah yang sudah aktif secara seismik.
Pada tahun lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatatkan sepanjang 2023 ada 176 gempa bumi besar dengan skala kekuatan di atas 5 magnitudo yang mengguncang Indonesia.
Hubungan perubahan iklim dan aktivitas gunung berapi
Penelitian juga menemukan korelasi antara perubahan beban glasial di kerak bumi dan terjadinya aktivitas gunung berapi. Sekitar 5.500–4.500 tahun yang lalu, iklim bumi mendingin sebentar dan gletser mulai meluas di Islandia.
Analisis terhadap endapan abu vulkanik yang tersebar di seluruh Eropa menunjukkan bahwa aktivitas vulkanik di Islandia berkurang drastis selama periode ini.
Terjadi peningkatan aktivitas vulkanik setelah berakhirnya periode dingin ini, meskipun dengan penundaan beberapa ratus tahun. Beratnya gletser yang menekan kerak bumi dan mantel di bawahnya (sebagian besar bagian dalam bumi yang padat) bisa memicu aktivitas vulkanik.
Hal ini menjaga material yang membentuk mantel berada di bawah tekanan yang lebih tinggi, mencegahnya meleleh dan membentuk magma yang diperlukan untuk letusan gunung berapi.
Namun, deglasiasi dan hilangnya berat di permukaan bumi memungkinkan terjadinya proses yang disebut pencairan dekompresi, di mana tekanan yang lebih rendah memfasilitasi pencairan di dalam mantel. Pencairan tersebut mengakibatkan terbentuknya magma cair yang memicu aktivitas vulkanik selanjutnya di Islandia.
Bahkan saat ini, letusan di dua gunung berapi, Grímsvötn dan Katla di Islandia, selalu terjadi selama periode musim panas ketika gletser menyusut.
Oleh karena itu, penyusutan gletser yang sedang tengah terjadi adalah akibat pemanasan global, yang berpotensi meningkatkan aktivitas gunung berapi di masa kini dan masa depan.
Iklim bumi berubah dengan cepat. Di beberapa daerah, peningkatan suhu meningkatkan terjadinya karena adanya kebakaran hutan dan kekeringan.
Sementara itu, di negara lain, peningkatan suhu bisa membuat hujan dan badai menjadi lebih deras atau mempercepat laju pencairan gletser. Pada tahun lalu, sebagian wilayah Eropa dan Kanada dilanda kebakaran hutan, sementara Beijing mencatat curah hujan terberat setidaknya dalam 140 tahun terakhir.
Melihat ke belakang lebih jauh, antara tahun 2000 dan 2019, gletser di dunia kehilangan sekitar 267 gigaton es per tahun. Mencairnya gletser berkontribusi terhadap naiknya permukaan air laut (saat ini naik sekitar 3,3 mm per tahun) dan lebih banyak bahaya pesisir seperti banjir dan erosi.
Namun penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi bahaya di permukaan bumi. Perubahan iklim – khususnya peningkatan curah hujan dan pencairan gletser – juga dapat memperburuk bahaya di bawah permukaan bumi, seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Media juga aktif meliput tentang kekeringan yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
Namun Laporan Penilaian Keenam dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa rata-rata curah hujan telah meningkat di banyak wilayah dunia sejak tahun 1950.
Saat ini, atmosfer menjadi lebih hangat, kemudian bisa menahan lebih banyak uap air, lalu menyebabkan tingkat curah hujan yang lebih tinggi.