ELSAM Temukan Masalah Penyusunan RPP Tata Kelola Pelindungan Anak dalam PSE

Rika Anggraeni
Senin, 10 Juni 2024 | 20:25 WIB
Ilustarasi data pribadi/dok.Kaspersky
Ilustarasi data pribadi/dok.Kaspersky
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menemukan beberapa masalah dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE).

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan bahwa terdapat lima masalah dalam penyusunan RPP tersebut. Pertama, potensi tumpang tindih antara kewajiban PSE secara umum dengan kewajiban PSE terkait dengan pelindungan anak yang dirumuskan dalam RPP ini.

“Hal ini mengingat pelaksanaan kewajiban PSE untuk memberikan pelindungan bagi anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab PSE, maka semestinya dalam konteks penegakan hukum, juga tidak bisa dipisahkan dari mekanisme penegakan hukum terkait pelanggaran kepatuhan PSE secara keseluruhan,” kata Wahyudi dalam keterangan tertulis, Senin (10/6/2024).

Wahyudi memandang dalam pelaksanaannya, semestinya terintegrasi dengan penegakan hukum terkait pelanggaran kepatuhan PSE secara umum, meski ketentuan Pasal 16B UU ITE secara khusus mengatur bentuk bentuk sanksi administrasi, mulai dari teguran tertulis, denda administrasi, penghentian sementara, dan pemutusan akses.

Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak adanya penghukuman ganda terhadap PSE, sehingga asas kepastian dan keadilan juga terpenuhi.

Di samping itu, Wahyudi menuturkan bahwa pelanggaran terkait dengan kepatuhan tanggung jawab PSE untuk memberikan perlindungan bagi anak dapat menjadi rujukan dalam menentukan besaran sanksi, seperti indeks denda, maupun limitasi waktu terkait dengan kewajiban PSE untuk melakukan pemblokiran (take down) terhadap suatu konten yang melanggar kewajiban perlindungan anak.

Kedua, adanya perbedaan perlakuan terhadap PSE Lingkup Publik. Mengacu pada Pasal 16A UU ITE, kewajiban memberikan pelindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik, berlaku baik bagi PSE privat maupun publik.

PSE dalam UU ITE merujuk pada penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan atau masyarakat, sedangkan dalam RPP ini, justru mengerucutkan bahwa PSE yang dimaksud hanya terbatas pada lingkup privat.

“RPP mestinya tidak membatasi jangkauan material dari peraturan ini, hanya mencakup PSE lingkup privat, tetapi harus juga menjangkau PSE lingkup publik,” ungkapnya.

Ketiga, Wahyudi memandang perlunya melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta Kementerian/Lembaga lain, yang terkait dengan pelindungan anak.

Di sisi lain, RPP tidak secara khusus melibatkan dua lembaga negara ini dalam tata kelola pelindungan anak di ruang digital.

“Padahal, kewenangan terkait pelindungan anak diampu oleh Kemen PPA, yang memiliki fungsi koordinasi terhadap kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak,” tambahnya.

Wahyudi menuturkan, meski dalam draf sudah memuat pemeriksaan dugaan pelanggaran dapat berkoordinasi dengan kementerian lain, namun dinilai perlu penegasan fungsi tersebut berada pada kementerian yang terkait pelindungan anak.

Adapun di saat yang sama, Kemen PPA juga tengah merumuskan Raperpres Peta Jalan Pelindungan Anak dalam Jaringan Tahun 2025–2029.

Dia menyebut bahwa peta jalan ini menghendaki pengaturan terhadap tata kelola PSE hanya melibatkan Kemen PPPA, BSSN, Kemendag, Kemendikbud Ristek, Kemensos, Kemenkes, Kemenag, juga termasuk LPSK.

Keempat, kesimpangsiuran batasan usia anak, akibat sejumlah UU yang mengatur batasan usia anak secara berbeda-beda, yang menyulitkan aplikasi kewajiban jaminan usia.

Menurutnya, perlu ada kejelasan terkait tanggung jawab PSE lingkup publik, terutama yang melakukan pemrosesan data pribadi kependudukan, karena menyangkut juga pemrosesan data pribadi anak.

“Dalam teknis pemrosesan data pribadi kependudukan, perlu ada pembedaan antara pemrosesan data terhadap penduduk yang sudah berusia 18 tahun, dengan yang masih di bawah 18 tahun,” imbuhnya.

Kelima, potensi tumpang tindih kewenangan antara Kominfo dan Lembaga Pelindungan Data Pribadi, terutama terkait dengan tindak lanjut ketika terjadi dugaan penegakkan hukumnya.

Untuk memastikan efektivitas dalam implementasi peraturan ini, Wahyudi menyebut perlu ada pembagian urusan yang jelas antara Kominfo dan Lembaga PDP.

“Potensi tumpang tindih kewenangan akan tercermin manakala tata kelola pelindungan anak di ruang digital beririsan dengan pemrosesan data pribadi anak,” imbuhnya.

Perlu diketahui pada akhir 2023, pemerintah dan DPR telah mengesahkan revisi UU No. 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 1/2024.

Salah satu pasal yang disepakati dalam perubahan UU Ini adalah penambahan Pasal 16A dan 16B yang mengatur perihal kewajiban PSE untuk memberikan perlindungan bagi anak yang menggunakan sistem elektronik.

Klausul baru tersebut melengkapi UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang menempatkan data anak sebagai bagian dari data pribadi yang spesifik atau sensitif.

Sebagai turunan dari ketentuan Pasal 16A dan 16B UU ITE, pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik.

Alhasil, inisiatif ini memberikan PSE kewajiban yang lebih besar pada penyelenggara sistem elektronik untuk memastikan ruang digital yang aman bagi anak.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper