Bisnis.com, JAKARTA – Perjanjian kerja sama yang ditandatangani Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan Starlink Indonesia belum memberi manfaat nyata. Penyedia layanan internet dalam negeri meminta adanya kejelasan skema kerja sama dari perusahaan internet milik Elon Musk.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) selaku regulator dan pembina diharapkan juga turun tangan.
Kepala Bidang Koordinator IIX & Data Center APJII Syarif Lumintarjo mengatakan nota kesepakatan atau Memorandum of Understanding (Mou) yang terjalin antara APJII dengan Starlink masih abstrak.
Anggota APJII meminta adanya kolaborasi dan kerja sama, tetapi pihak Starlink tidak memberikan secara detail bentuk konkret kerja sama keduanya hingga saat ini.
Untuk diketahui, pada April 2024 atau 3 minggu setelah mengajukan izin ISP di Indonesia, SpaceX Starlink menandatangani perjanjian kolaborasi dengan APJII untuk meningkatkan akses internet di Indonesia khususnya di daerah tertinggal.
Penandatanganan dilakukan oleh pihak Ketua Umum APJII Muhammad Arif. Namun dalam perkembangannya, tidak ada kejelasan atas MoU tersebut.
“Apapun kerja samanya, [reseller internet] salah satunya. Kan Indonesia negara berdaulat, bikin pengecualian tidak apa-apa. Mau anggota begitu, mereka bisa ikut berjualan, ikut melakukan perawatan … MoU sekarang kan nothing kalau tidak ada realisasinya,” kata Syarif kepada Bisnis, Senin (3/6/2024).
Dia mengatakan bahwa Starlink hanyalah alat transportasi untuk mengantarkan bandwidth internet kepada pelanggan. Sama seperti seluler dan serat optik. Dengan kondisi tersebut, menurut Syarif, kerja sama yang terjalin dapat berupa kemitraan penyewaan transport.
Menurut Syarif, hal tersebut bisa saja dilakukan jika APJII bersedia, meskipun sejauh ini di laman resminya Starlink melarang praktik reseller. Starlink akan menjual layanan internetnya sendiri langsung kepada pelanggan ritel. Adapun untuk pasar korporasi, pelanggan dapat memperoleh layanan Starlink dengan memesan langsung ke website atau lewat Telkomsat.
Adapun jika Starlink tidak membuka diri untuk kerja sama dengan APJII, perusahaan tersebut akan mematikan para pemain ISP lokal, dengan restu pemerintah.
“Kalau ini kan sekarang pemerintah seperti mengorbankan anggota APJII. Padahal dahulu pemerintah membuka izin selebar-lebarnya hingga jumlah 1.050 ISP. Tiba-tiba datang Starlink. Di mana perlindungan pemerintah? pedagang Tanah Abang saja dilindungi dari TikTok Shop. Itu logikanya,” kata Syarif.
Untuk diketahui, Starlink terus berkembang pesat dan memberi disrupsi bagi pemain telekomunikasi eksisting. Per Mei 2024, Starlink mengklaim telah memiliki 3 juta pelanggan di seluruh dunia. Starlink mampu memberikan internet dengan rata-rata kecepatan unduh di atas 100 Mbps per titik.
Kecepatan tersebut sangat tinggi di atas rata-rata kecepatan seluler dan fixed broadband Indonesia, yang menurut laporan Speedtest by Ookla di kisaran 30 Mbps-35 Mbps.
Peran Pemerintah
Sementara itu, Akademisi dari ITB sekaligus mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo mengatakan untuk tipe pelanggan menengah ke atas, Starlink tentu dapat memberikan layanan tanpa kerja sama. Tetapi, untuk pelanggan dengan kemampuan daya beli rendah, Starlink perlu menggandeng ISP lokal.
Adapun jika Starlink menolak untuk bekerja sama, lanjutnya, pelaku usaha harus bersatu karena Starlink membatasi ISP yang telah dahulu hadir di Indonesia untuk menarik keuntungan.
“Bisnis apapun, membatasi diri, berarti membatasi profitability. Jika demikian, seluruh ISP di Indonesia mesti bersatu dan kompak hadapi Starlink,” kata Agung.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan Kemenkominfo, sebagai pembina industri dan otoritas regulasi yang punya wewenang mengatur izin penyelenggaraan telekomunikasi, memiliki peran kunci untuk mendorong terciptanya kerja sama antara Starlink dengan ISP lokal.
Nasib keberlanjutan bisnis perusahaan dalam negeri, bergantung pada kebijakan yang diambil oleh Kemenkominfo.
“Seyogyanya, regulator mempertimbangkan setidaknya tantangan penegakkan regulasi, pelindungan kepentingan warga, pelindungan industri existing dalam negeri, kompetisi yang sehat, sambil terus tidak menghambat adopsi teknologi baru dan berkembangnya bisnis model baru,” kata Sigit.
Untuk kasus starlink ini kembali kepada jenis izin apa yg diberikan oleh Kemenkominfo. Sementara, dari industri, sudah sejak awal menyampaikan keharusan untuk bekerja sama dengan penyelenggara lokal dalam menawarkan solusi tersebut terutama untuk ritel.
“Salah satunya mungkin untuk ritel, dilakukan oleh penyelenggara lokal ke pelanggannya, sehingga ISP di daerah terutama yang skalanya tidak terlalu besar, tidak langsung tergerus peluang usahanya, bahkan tetap bisa usaha,” kata Sigit.
Saat ditemui di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kuasa hukum Starlink Indonesia mengaku perusahaan terbuka untuk bekerja sama dengan pemain dalam negeri guna memberikan layanan internet yang merata.
Starlink tidak menjelaskan lebih detail kerja sama yang terjalin.
“Kami berkomitmen memberikan layanan internet berkecepatan tinggi dan memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen di indonesia. Dan kami siap bekerja sama dengan pihak manapun, dalam hal ini untuk mencapai yang lebih baik, meningkatkan efisiensi dan pelayanan terhadap konsumen,” kata Tim Hukum Starlink Indonesia Verry Iskandar.
Bisnis Menara Terdampak
Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko mengatakan kehadiran Starlink menjadi peluang tersendiri bagi perusahaan.
Peran Starlink sebagai infrastruktur pengalur atau backhaul telah membuat menara-menara milik anak usaha Telkom tersebut makin banyak berdiri di daerah rural, karena akses internet lebih terbuka dan operator mengaktifkan lebih banyak BTS.
“Kami adalah pihak yang paling diuntungkan dengan adanya Starlink. Starlink ini adalah layanan yang idealnya bisa digunakan untuk menjadi backhaul,” kata pria yang akrab disapa Teddy dalam Paparan Publik Mitratel di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Direktur Investasi Mitratel Hendra Purnama mengatakan bahwa perusahaan bekerja sama dengan Starlink sebagai backhaul untuk menjangkau remote area.
Hendra mengaku bahwa Mitratel bisa membangun menara (tower) di wilayah tersebut, sehingga penetrasi internet di daerah rural area akan menjadi lebih mudah dan cepat karena Starlink sebagai penyedia backhaul. Di samping itu, Hendra menyatakan bahwa dari sisi biaya juga akan lebih efisien.
“Karena Starlink itu biayanya akan dibagikan ke masyarakat yang menggunakan handphone. Jadi masyarakat tidak perlu membeli satelit dan langganan starlink langsung, tetapi cukup menggunakan hp biasa menggunakan ARPU [Average Revenue Per Unit],” tambahnya.