Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah sorotan dunia terhadap tindakan Israel yang menyerang wilayah pengungsian Rafah saat ini, sebuah sistem kecerdasan buatan (AI) yang dikenal sebagai "Lavender" kini menjadi perbincangan.
Pasalnya, antara tanggal 7 Oktober hingga 24 November, sistem ini berhasil mendeteksi 37.000 target potensial yang berhubungan dengan Hamas dan setidaknya membunuh 15.000 orang.
Teknologi tersebut pertama kali dilaporkan oleh investigasi jurnalistik dua media Israel, +972 Magazine dan Local Call, yang kemudian diterbitkan oleh The Guardian.
Lavender telah memainkan peran penting dalam pengeboman Israel ke warga Palestina.
Hal ini dikemukakan oleh 6 perwira intelijen Israel, yang semuanya pernah bertugas di militer selama invasi di Jalur Gaza dan terlibat langsung dalam penggunaan AI untuk menghasilkan target pembunuhan.
Pada awalnya, IDF menyetujui semua daftar pembunuhan yang dibuat oleh Lavender tanpa memeriksa secara menyeluruh mengapa mesin tersebut membuat pilihan tersebut atau memeriksa data intelijen mentah yang menjadi dasar daftar tersebut.
Penggunaan sistem AI oleh Israel menimbulkan sejumlah pertanyaan hukum dan moral yang mengubah hubungan antara personel militer dan mesin.
Melansir dari The Guardian Rabu (29/05/2024), tentara Israel hanya terlibat sedikit dalam penentuan individu mana yang akan dibunuh.
“Saya akan menginvestasikan 20 detik untuk setiap target pada tahap ini. Saya tidak memiliki nilai tambah sebagai manusia, selain sebagai cap persetujuan. Ini menghemat banyak waktu,” kata tentara Israel dalam sebuah testimoni yang diberikan kepada Jurnalis Yuval Abraham.
Hal ini terjadi meskipun sistem tersebut membuat kesalahan pada sekitar 10% kasus, dan diketahui terkadang menandai individu yang tidak memiliki koneksi dengan Hamas sama sekali.
Lavender dikembangkan oleh divisi elit intelijen Angkatan Pertahanan Israel, Unit 8200. Lavender memproses informasi yang dikumpulkan dari lebih dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza.
Skor dibuat untuk setiap individu mulai dari 1 hingga 100, yang memperkirakan kemungkinan bahwa mereka terkait dengan organisasi Hamas atau Islamic Jihad. Individu dengan skor tinggi dibunuh bersama keluarga dan tetangganya.
Perwira intelijen mengatakan pada fase awal perang, mereka diberi wewenang untuk membunuh hingga “20 warga sipil yang tidak terlibat” untuk satu operasi, tanpa memandang pangkat, kepentingan militer, atau usia mereka.
“Anda tidak hanya dibolehkan membunuh siapa pun yang merupakan tentara Hamas. Tetapi mereka secara langsung memerintahkan kita (tentara Israel): ‘Kamu diperbolehkan membunuh mereka bersama dengan warga sipil lainnya'," ujar perwira intelijen Israel.
Rektor kehormatan Universitas Castilla-La Mancha di Spanyol dan spesialis hukum pidana internasional Luis Arroyo Zapatero, mengatakan kematian yang disebabkan oleh alat ini harus dianggap sebagai “kejahatan perang.”
Sedangkan rangkaian tindakan tersebut, termasuk penghancuran besar-besaran bangunan dan manusia, harus didefinisikan sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan,” tambahnya. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)