Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai bahwa keberadaan Starlink belum mengarah ke predatory pricing, meski satelit milik Elon Musk itu sudah mulai menurunkan perangkat.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan bahwa terdapat banyak hal yang perlu dilihat antara Starlink dan predatory pricing, mulai dari pasar, promosi, hingga harga yang wajar.
“Belum ke sana [adanya predatory pricing],” kata Deswin, Selasa (21/5/2024).
Menurutnya, penurunan harga yang dilakukan Starlink merupakan sebagai bentuk strategi pemasaran yang tidak dilarang.
Namun, Deswin menuturkan bahwa hal yang paling penting adalah apakah Starlink bersaing langsung dengan produk jasa internet lain.
“Kuncinya di pasar. Pasar yang paling terganggu dari perilaku pelaku usaha. Apakah Starlink bersaingnya di pasar konsumen atau produk internet tertentu atau di semua jenis,” ungkapnya.
Deswin menjelaskan bahwa biasanya, predatory pricing bisa dilakukan oleh perusahaan dengan kemampuan modal. “Atau yang memiliki pangsa pasar besar,” imbuhnya.
Perlu diketahui, Starlink mulai melakukan penawaran harga spesial untuk pelanggan awal yang berakhir hingga 10 Juni 2024.
Penawaran yang dimaksud berupa penurunan harga perangkat Starlink yang sebelumnya dibanderol Rp7,8 juta menjadi Rp4,68 juta.
“Penawaran untuk pelanggan awal - berakhir 10 Juni Rp4,68 juta untuk perangkat keras,” demikian informasi yang tertera di laman resmi Starlink.
Starlink milik Elon Musk ini menawarkan tiga jenis paket layanan internet, mulai dari residensial (rumah), jelajah (berpergian), dan kapal (perairan).
Paket residensial, misalnya, harga layanan standar Starlink dibanderol senilai Rp750.000 per bulan dengan kuota tanpa batas. Untuk paket jelajah dipatok lebih tinggi, yakni Rp990.000 per bulan (mobile regional) dan Rp4,34 juta per bulan (prioritas mobile 50 GB).
Starlink juga tersedia untuk layanan internet berkecepatan tinggi di perairan mulai dari Rp4,34 juta per bulan dengan biaya perangkat keras senilai Rp43,73 juta.