Bisnis.com, JAKARTA - “Apa yang kami hadapi saat itu adalah pilihan antara bertahan hidup atau mati. Benar, itu akan menjadi kematian yang lambat, tetapi itu akan menjadi kematian pada akhirnya” (Patrick Walujo, DealStreetAsia Indonesia PE-VC Summit 2024, Jakarta 25 Januari 2024)
Akuisisi Tokopedia oleh TikTok memberikan gambaran tantangan yang dihadapi Tokopedia meski telah berdiri 14 tahun dan mendominasi pasar Indonesia. Tantangan serupa dialami ecommerce di berbagai negara.
Amazon sebagai pionir ecommerce ternyata segmen ritelnya memiliki margin yang sangat rendah. Secara total pendapatan Amazon 2023 mencapai US$575 miliar dan laba operasional sekitar Rp36,9 miliar, atau Operating Income Margin 6,4%. Margin laba operasional keseluruhan tersebut menutupi margin segmen ritel yang lebih rendah: 4,2% di segmen ritel USA dan negatif 3,6% di segmen ritel Global. Jadi rata-rata margin laba operasional ritel amazon hanya 2,5%.
Dari total laba operasional Amazon sebesar US$24,6 miliar, memang sebagian besar (86%) berasal dari laba bisnis cloud AWS.
Coupang (di Korea Selatan) secara sempurna meniru segmen ritel Amazon. Coupang membangun lebih 100 fulfillment center di Korea, sehingga 70% populasinya berada sekitar 10 km dari fulfillment center tersebut. Korea Selatan memiliki PDB sekitar US$1,7 triliun (terbesar ke 13 di dunia), PDB per kapita mencapai US$32.000 (tertinggi ke-30 di dunia), dan 81% penduduknya di daerah urban, menjadikan Korea wilayah yang sangat ideal untuk mengembangkan bisnis ecommerce. Ternyata margin laba operasional Coupang hanya 1,84% (periode 1 tahun per September 2023).
Sedangkan JD.com (China) memiliki margin laba operasional 2,72%, sedikit lebih baik dari Coupang dan segmen ritel Amazon.
Meskipun Amazon, Coupang, dan JD.com adalah perusahaan ecommerce yang menggunakan digital analytic dan robot, ternyata margin labanya di bawah margin laba ritel konvensional seperti Alfamart (AMRT) yang mencapai 2,97%.
Studi Alvarez & Marsal (2021) pada 250 ritel (konvensional dan daring) di Eropa (Francis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Swiss) menunjukkan margin laba sebelum pajak perusahaan ecommerce pada 2020 hanya 1,4%, turun dari 3,2% di 2011. Margin laba tersebut kurang dari sepertiga margin laba rata-rata ritel Eropa yang mencapai 4,5%. Tren penurunan margin laba ritel Eropa sendiri (dari 6,4% di tahun 2012) dipicu persaingan dari ecommerce.
Berbagai promosi sering menggambarkan ecommerce sebagai bisnis yang “Mudah Tanpa Biaya”. Tetapi mengapa ecommerce sulit memperoleh laba? Bagaimanapun adopsi ecommerce mengubah proses bisnis yang berdampak pada: peningkatan intensitas kompetisi, proses pelayanan, dan logistik last mile delivery ke konsumen.
Pertama, ecommerce meningkatkan intensitas persaingan harga. Ecommerce memungkinkan calon pembeli membandingkan harga antara penjual secara instan dengan biaya pencarian informasi (search cost) minimal. Pada ritel konvensional, perbandingan harga produk antar toko tidak mudah dilakukan, karena ada jarak dan memerlukan waktu untuk melakukannya. Karena perbandingan harga ecommerce sangat instan, konsumen cenderung mencari harga termurah sehingga mendorong penjual melakukan kompetisi harga yang mengurangi margin laba.
Kedua, promosi bebas biaya (ongkos) kirim. Sebagai promosi belanja secara daring, pembeli tidak dikenakan biaya ongkos kirim. Konsumen juga sangat memperhatikan aspek ongkos kirim sebagai salah satu pertimbangan dalam membeli di sebuah ecommerce.
Sebaliknya bila belanja di mal/toko, biaya distribusi barang dari mall/toko ke konsumen ditanggung oleh konsumen. Bila ecommerce bebas ongkir, semua biaya logistik dari gudang ke konsumen (seperti: memilih barang di gudang, mengemas paket, memindahkannya ke transportasi pengirim, dan mengantarnya satu per satu sampai ke rumah konsumen) ditanggung oleh penjual.
Apalagi kondisi jalan dan perumahan yang banyak sangat semrawut di negara berkembang seperti Indonesia. Potensi barang rusak, salah kirim, dan retur menjadi beban biaya logistik yang sangat mahal.
Ketiga, satuan nilai transaksi ecommerce yang kecil. Bila konsumen belanja ke ritel konvensional, biasanya akan membeli berbagai barang dalam sekali pergi. Konsumen akan membeli sekeranjang barang, sehingga nilai transaksi rata-rata naik. Promosi bebas ongkir ecommerce mendorong konsumen membeli satu barang paling murah di satu toko daring, menurunkan nilai satuan transaksi.
Keempat, kompetisi yang ketat antar-ecommerce dan ekspansi yang fokus ke akuisisi pelanggan baru menyebabkan biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost) sangat mahal. Di sisi lain, pelanggan tidak loyal sehingga nilai rata-rata pendapatan dari pelanggan tersebut (customer lifetime value) rendah dan sulit menutupi biaya-biaya promosi dan biaya akuisisi pelanggan.
Kelima, ekspansi ecommerce yang cepat tidak disertai investasi aspek logistik dan last mile delivery yang memadai. Padahal keunggulan ecommerce sukses seperti Amazon, Coupang, dan JD.com yang berhasil untung karena investasi intensif di sistem logistik, berupa fulfillment center modern yang integral dengan sistem last mile delivery ke konsumen.
Kombinasi faktor peningkatan kompetisi, promosi bebas ongkos kirim, satuan nilai belanja yang kecil, dan tingginya biaya logistik last mile delivery ke konsumen membuat bisnis ecommerce memiliki margin laba yang sangat rendah bahkan merugi. Tanpa investasi yang memadai di fulfillment center dan last mile delivery, maka ecommerce tidak lebih unggul daripada ritel konvensional. Dan ecommerce harus kreatif mencari pendapatan selain dari segmen ritel untuk dapat memperbaiki margin operasionalnya.
Saat ini jaringan ritel konvensional Alfmart dan Indomaret juga mengembangkan layanan digital. Alfagift dan Klik Indomaret bisa menyediakan layanan serupa ritel daring secara lebih efisien dengan memanfaatkan jaringan tokonya sebagai fulfillment center. Ecommerce Shopee juga agresif ekspansi di Indonesia. Maka wajar bila Tokopedia berkoalisi dengan TikTok untuk dapat memenangkan kembali persaingan ecommerce yang tetap tinggi dan prospek laba yang minim.