Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken aturan terkait dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang hak penerbit atau publisher rights. Jokowi menyebut seluruh pihak ada titik temu.
“Setelah sekian lama, setelah perdebatan panjang akhirnya kemarin saya menandatangi Peraturan Pemerintah tentang tanggung jawab platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas atau yang kita kenal sebagai perpres Publisher Rights,” kata Jokowi dalam acara Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2024 di Econventional Hall Ecopark Ancol Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Orang nomor satu di Indonesia itu mengamini bahwa dalam merealisasi perpres tersebut, prosesnya memakan waktu yang sangat panjang. Mengingat, banyak perbedaan pendapat yang harus ditampung.
Bahkan, Jokowi mengatakan bahwa pembuatan perpres itu sempat terhambat karena masing-masing pihak tidak mencapai titik temu.
Namun secara perlahan, kata Jokowi, seluruh pihak mulai memiliki kesepahaman.
“Setelah semua ada kesepahaman, mulai ada titik temu ditambah lagi dewan pers yang mendesak terus, perwakilan perusahaan dan perusahaan asosiasi media juga mendorong terus. Akhirnya kemarin saya meneken perpres tersebut,” pungkas Jokowi.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menegaskan bahwa aturan mengenai publisher rights akan tetap dilaksanakan meski raksasa teknologi seperti Meta, induk Instagram dan Facebook, tidak sepakat dengan peraturan tersebut.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong mengatakan dalam merumuskan peraturan tersebut, Kemenkominfo sudah berbicara dengan platform over the top seperti Google, Meta, dan lain sebagainya serta perusahan media.
Perusahaan media, kata Usman, sepakat dengan perpres tersebut. Sementara itu OTT, diharapkan dapat menjalankan Perpres ini.
Adapun terkait dengan Facebook dan Instagram, ujar Usman, Kemenkominfo sudah melakukan pembicaraan dan sudah bertemu. Namun keduanya belum sepakat dengan perpres tersebut, sehingga berita-berita perusahaan media tidak akan tampil di kedua platform tersebut.
“Bentuk ketidaksepakatan mereka adalah tidak menayangkan lagi berita. Tetapi kami berupaya menjelaskan kepada mereka mekanisme seperti apa sehingga mereka bisa menerima. Nanti kami lihat apakah kami perlu lagi berbicara dengan mereka sebelum perpres disahkan,” kata Usman.
Usman menjelaskan apabila dalam perkembangannya OTT Meta tetap tidak bersedia untuk menaati peraturan, perpres tetap akan dijalankan.
Menurutnya, dalam peraturan itu tidak harus ada titik temu dahulu. Undang-undang tidak bisa menyenangkan semua orang, tetapi yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan adalah meaningful participation.
“Artinya mereka didengar, diajak bicara, dipertimbangkan usulannya dan itu sudah kami lakukan. Dengan semua platform. Pasti ada yang tidak setuju. Maka disalurkan ketidaksetujuan itu. Misalnya kalau Perpres ke MA. Karena setiap undang² ada pihak yang tidak setuju,” kata Usman.
Kemenkominfo menyiapkan sejumlah skema untuk mendesak platform asing menaati Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Right yang tengah disusun. Salah satunya, melarang perusahaan Indonesia memasang iklan di platform yang menolak regulasi tersebut.
Usman mengatakan skema tersebut dapat berupa kerja sama dengan platform search engine lainnya dan memberhentikan iklan.
“Ya untuk ayo dong beriklan di media-media di Indonesia. Jangan beriklan di platform global misalnya,” ujar Usman kepada wartawan, Senin (29/1/2024).
Sementara itu, Pengamat media dari UMN Ignatius Haryanto menduga, penyusunan Perpres Publisher Rights yang cenderung tertutup disebabkan oleh negosiasi yang tidak berjalan mudah antara Dewan Pers dengan platform digital seperti Google dan kawan-kawan, maupun perusahaan media massa daring (online).
Ignatius mengatakan, saat ini masih ada media massa online dan platform asing yang kontra terhadap Publisher Right.
“Saya kira memang ketergantungan perusahaan media online pada platform sangat besar. Bahwa pemerintah mencoba untuk membuat regulasi yang memberikan keadilan, saya kira itu usaha yang bagus, tetapi apakah dalam negosiasi hal itu betul-betul bisa dilakukan,” ujar Ignatius.
Penolakan dari platform asing, kata Ignatius, disebabkan karena adanya regulasi yang mewajibkan platform untuk membuka algoritma mereka. Hal tersebut menurutnya yang menjadi poin keberatan dari platform. Sebab algoritma merupakan formula untuk platform mendapatkan keuntungan.
Oleh karena itu, Ignatius khawatir jika mereka masih tidak mau untuk tunduk ke regulasi Indonesia dan pada akhirnya memutuskan pindah ke negara lain.
“Perusahaan platform itu sangat kuat karena mereka memiliki jaringan di seluruh dunia, sehingga walaupun Indonesia menjadi salah satu market yang besar, tetapi kalau memang tidak ada kesepakatan dalam hal ini, bisa sangat mudah mereka pindah ke tempat lain,” ujar Ignasius.