5G di India Melambat, XL Axiata Bicara Prospek Pasar Indonesia

Crysania Suhartanto
Rabu, 31 Januari 2024 | 09:15 WIB
Karyawan melayani pelanggan di salah satu XL Center di Jakarta, Minggu (30/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melayani pelanggan di salah satu XL Center di Jakarta, Minggu (30/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - PT XL Axiata Tbk. (EXCL) mengaku masih optimistis pada pasar 5G di Indonesia. Namun, XL masih butuh kerja sama banyak pihak untuk menggelar jaringan.

Head of External Communications XL Henry Wijayanto mengatakan ekosistem 5G di Indonesia yang masih dalam tahap dini dan perlu untuk diakselerasi.

Oleh karena itu, XL masih akan melakukan pembangunan atau penyediaan jaringan secara bertahap, jika sudah memiliki spektrum yang tepat dan usecase 5G makin banyak.

“XL Axiata juga akan melihat potensi dari kebutuhan bisnis dan masyarakat terhadap jaringan 5G, ketersediaan device yang mendukung 5G, serta kesiapan ekosistem dan usecase yang mendukung kebutuhan 5G secara masif,” ujar Henry, Selasa (30/1/2024).

Namun, Henry mengatakan implementasi 5G yang akan dilakukan XL juga harus dibarengi dari dukungan dan kerja sama semua pihak termasuk pemerintah agar industri dapat tetap berkelanjutan dan proses bisnis tetap menguntungkan.

Sebagai informasi, operator seluler India mulai memangkas CAPEX penggelaran 5G seiring dengan return on investment yang tidak menjanjikan.

Dua operator India, yakni Jio dan Bh Airtel bahkan menjual layanan 5G mereka seharga 4G seiring dengan kemampuan daya beli masyarakat yang terbatas dan kasus pemanfaatan yang rendah. Padahal, jaringan 5G ini akan sangat bermanfaat untuk penggunaan IoT.

Oleh karena itu, Henry berharap pemerintah tidak hanya meminta operator untuk menggelar 5G, tetapi juga memberikan insentif beban operasional serta ketersediaan spektrum dan perangkat dengan harga yang manusiawi.

Henry mengaku beban investasi 5G masih cukup mahal, sehingga jika operator masih dibebankan biaya operasional yang tidak sedikit, hal ini akan mempengaruhi keberlangsungan industri. Terlebih jika usecase 5G masih belum banyak, sehingga return on investment yang didapatkan masih belum maksimal.

“[Pemerintah] dapat membuat beban investasi jaringan 5G dapat lebih terkendali, dan dapat ditutup dengan pendapatan di sisi operator, sehingga bisnis 5G dapat berkelanjutan,”ujar Henry.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Internet of Things (IoT) Indonesia (Asioti) Teguh Prasetya mengatakan kegagalan penggelaran 5G di India dipercaya tidak akan terjadi di Indonesia.

Ketua Asioti Teguh Prasetya mengatakan hal ini dikarenakan use case 5G di Indonesia masih cukup banyak, seperti untuk jaringan fixed wireless access, densifikasi perkotaan, dan private network.

Sementara India, Teguh mengatakan usecase 5G hanya untuk mobile broadband. Selain itu, kegagalan India dipercaya juga disebabkan oleh masalah perang harga antaroperator yang belum terselesaikan.

Oleh karena itu, Teguh mengatakan hal yang terjadi di India merupakan sebuah kasus khusus, karena beberapa negara malah cenderung menunjukan tren sebaliknya setelah menggelar 5G dan bertambah tinggi setelah 3 tahun.

Teguh mengutip Statista, ada Jepang yang operatornya mengalami kenaikan ARPU hingga 8% dari tiga tahun sebelum peluncuran 5G dan meningkat 7% setelah 3 tahun menggelar 5G. Lalu ada China, Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan yang juga merasakan tren serupa.

Diketahui, Korea Selatan bahkan mengalami kenaikan ARPU sebanyak 18% pada tiga tahun sebelum peluncuran 5G dan tahun pertama peluncuran.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper