Bisnis.com, JAKARTA - Akademisi meminta pemerintah untuk meregulasi kepada High Altitude Platform Station (HAPS) atau base transceiver system (BTS) terbang, mengingat adanya isu teknologi baru ini akan menggunakan frekuensi seluler.
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Kelompok Keahlian Telekomunikasi Ridwan Effendy mengatakan hal ini penting dilakukan untuk memberikan keadilan di industri penyelenggara telekomunikasi.
“Menurut saya perlu diatur. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk keberlangsungan bisnis telekomunikasi yang sudah dibina sekian tahun dan sudah memberikan sumbangsih pajak pada negara,” ujar Ridwan kepada wartawan, Selasa (30/1/2024).
Selain itu, untuk menjaga keberlangsungan operator seluler, Ridwan juga menyarankan agar HAPS hanya diperbolehkan beroperasi di daerah-daerah yang belum memiliki layanan selular, seperti wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Sementara wilayah seperti Jawa, Sumatra, dan Bali, kata Ridwan, sebaiknya tidak perlu.
“Kalau kita ada satu wilayah yang belum memiliki suatu layanan, bolehlah diberi layanan seperti itu, HAPS yang memiliki frekuensi selular,” ujar Ridwan.
Diketahui, implementasi BTS terbang ini telah mendapat restu dari World Radiocommunication Conference (WRC) 2023. Pengoperasiannya di Indonesia dapat menggunakan empat frekuensi di pita 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz.
HAPS nantinya dapat mengangkut BTS 4G di ketinggian 18 km-25 km (stratosphere) atau lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian satelit orbit rendah, seperti Starlink, yang sekitar 550 km.
Penempatan BTS di udara ini menjadi tahap lanjut perihal pengoperasian BTS, yang selama ini cenderung diletakan di tanah dan menempel dengan menara telekomunikasi. Maka, tidak heran jika HAPS kemudian disebut sebagai BTS terbang.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memastikan bahwa BTS terbang tidak akan benar-benar menggantikan bisnis menara telekomunikasi bila nantinya diimplementasikan di Indonesia.
“Tidak menggantikan sama sekali. Satelit tetap kita pakai, menara BTS juga tetap kita pakai, fiber optik juga tetap kita pakai,” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Usman Kansong kepada Bisnis.
Menurutnya, kehadiran teknologi baru ini dapat mengatasi kendala-kendala yang ada dari infrastruktur telekomunikasi saat ini.
Adapun, wilayah Indonesia yang terjal menjadi salah satu tantangan dalam penggelaran menara telekomunikasi. Sulit bagi perusahaan telekomunikasi untuk menjangkau wilayah pegunungan dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, Avealto, produsen Wahana Terrestrial Langit atau High Altitude Platform Station (HAPS) yang bermarkas di Inggris, berencana masuk ke pasar Indonesia pada 2026.
Founder dan CEO Avealto Walter Anderson mengklaim perusahaan memiliki sejumlah pelanggan potensial di Indonesia yang menunggu layanan. Indonesia akan menjadi pasar pertama wahana berbentuk balon udara itu.
Kepada para calon pelanggan, lanjutnya, Avealto akan menyediakan layanan di wilayah yang saat ini hanya dilayani oleh satelit. Di wilayah tersebut Avealto akan menjadi penyedia dengan biaya terendah dan kualitas tertinggi.