Bisnis.com, JAKARTA - Regulasi Digital Marketing Act dan Digital Service Act yang ada di Eropa akan diterapkan di Indonesia. Nantinya Google, Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp, dan perusahaan digital lainnya akan terdampak.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan regulasi tersebut tengah disusun sebagai turunan dari revisi kedua UU ITE.
“(Turunan) PP UU ITE kan ada tiga ya, revisi PP 71/2019, PP Perlindungan Anak, PP Digital Marketing Act dan Digital Service Act,” ujar Usman kepada Bisnis, Jumat (5/1/2023).
Adapun Usman mengatakan ketiga regulasi tersebut tengah dibentuk kerangkanya dan masih dalam pembahasan lebih lanjut.
Kendati demikian, Usman berharap ketiga regulasi ini dapat selesai secepatnya, bahkan sebelum Oktober 2024, agar dapat ditandatangani oleh Presiden dan Menteri yang sama.
Sebagai informasi, Digital Marketing Act (DMA) merupakan undang-undang di Uni Eropa yang menetapkan aturan bagi perusahaan internet, mulai dari platform pencari online, e-commerce, dan layanan pesan.
Mengutip laman European Times, DMA mengatur agar pelanggan memiliki lebih banyak kontrol atas hal yang mereka lihat secara daring. Selain itu, pengguna juga akan mengetahui alasan jika ada konten atau iklan yang ditargetkan pada mereka.
Lebih lanjut, DMA ini juga akan mengatur iklan digital agar tidak dapat menargetkan anak di bawah umur. Selain itu, iklan juga tidak diperbolehkan untuk menggunakan data sensitif seperti orientasi seksual, agama, dan etnis.
DMA juga berisi aturan yang memastikan produk yang dijual secara daring merupakan produk yang aman dan mengikuti standar di Uni Eropa. Lebih lanjut, platform juga harus transparan terkait informasi produk yang dijual.
Sementara itu, untuk Digital Service Act (DSA) di Uni Eropa sebenarnya masih dalam proses pembuatan dan akan berlaku paling cepat pada 2024.
Namun, dikutip dari Bisnis, beberapa aturan dalam DSA adalah larangan menggunakan data sensitif seperti ras atau agama untuk menarget iklan, larangan menarget iklan kepada anak-anak, dan larangan menggunakan pola gelap yang secara spesifik menjadi taktik untuk menjaring orang untuk dilacak secara online.
Aturan ini akan berlaku untuk semua platform. Adapun situs yang memiliki lebih dari 45 juta pengguna harus mematuhi aturan yang lebih ketat.
Bahkan perusahaan besar termasuk TikTok akan diwajibkan membuka algoritma kepada penegak hukum dan peneliti yang ditunjuk.
Selain itu, mereka juga harus menjelaskan strategi untuk melawan konten berbahaya seperti propaganda atau hoaks yang banyak terjadi pada masa krisis. Perusahaan yang tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut akan dikenakan denda.
Dengan demikian, regulasi ini akan mempermudah negara-negara di kawasan untuk melayangkan tuntutan denda miliaran dolar kepada para perusahaan digital yang mengandung konten ilegal.
Diketahui, hukuman dari regulasi ini adalah denda hingga 6% dari total penjualan tahunan global.
Menurut sebuah laporan, e-commerce asal AS terbesar, Amazon bahkan bisa kena denda hingga 26 miliar euro (US$28 miliar) jika terbukti tidak mematuhi DSA. Sementara itu, Google terancam 14 miliar euro (US$15 miliar) jika melanggar.
Adapun, jika perusahaan terus tercatat melanggar aturan, maka platform-nya dapat diblokir sementara.